“PERJALANAN MEMINANG BIDADARI”
Posted August 27, 2009
on:Apa teman yang terlintas di benakmu tatkala membaca judul di atas?
Menarikkah judul di atas?
Desiran apa yang engku rasakan saat membacanya?
Teman, judul di atas bukanlah ide dari hasil olah pikiranku semata. Ia tidak datang ujug-ujug begitu saja. Tapi, itu adalah sebuah judul buku. Buku dengan judul “Perjalanan Meminang Bidadari”, buah pena Ust. Herry Nurdi. Perlu aku paparkan disini hal ihwal perkenalanku dengan buku yang satu ini.
Begini awalnya:
Mungkin sama seperti kawan-kawan semua saat pertama kali membaca judul di atas. Akupun merasakan suatu hal yang aneh. Membacanya, membuat desiran dalam dada ini solah bergolak. Ada sesuatu yang menelisik jiwa ini. Ada suatu getaran yang sempat terasa. Denyut nadi ini bertambah kembang kempisnya. Hidungpun sempat cedut-cedutan.
Ada apa ini?
Mengapa judul buku ini begitu mempesonanya, setidaknya bagiku!?
Seolah buku ini memiliki magnet, ia demikian kuatnya menarik hasrat ini.
Ditambah lagi bahwa sang penulis, Ust. Herry Nurdi ini telah menjadi salah satu penulis yang kugandrungi saat ini. Aku demikian terpesonanya dengan kelihaiannya merangkai kata. Meliuk-liuk menyayat jiwa. Setidaknya, telah tiga bukunya yang kulahap. Padahal, baru beberapa hari belakangan ini aku mengenalnya. Seolah betikan rasa cinta tertuju selalu pada ke tiga bukunya itu: Agar Hidup Lebih Baik, The Secret from Muslim, The Secret of Surga.
Ketiga buku ini, ditambah lagi yang sedang kita bicarakan –Perjalanan Meminang Bidadari-, telah menjadi harta karunku yang sangat berharga. Kutaruh mereka ber-empat di suatu tempat yang spesial di jiwa.
Maka tak ambil waktu lama. Segera kuburu ia. Akupun berjanji dalam hari, “Akan kucari dimanapun engkau berada, meski ke ujung dunia sekalipun”.
Pertama-tama, kucari ia di suatu toko buku di sekitar margonda. TM Book Store, Detos. Namun, nasib tak menyapaku kali ini. Ia tak ada. Lalu kulanjutkan proses perburuan menuju Gramedia Depok. Tak ada pula. Satu lagi tempat, toko Gunung Agung Margo City. Dan lagi-lagi, tak kutemukan ia walau hanya covernya sekalipun.
Aih, bingung diri ini. Kemana lagi harus kucari. Serasa sudah keliling dunia kucari. Seperti pencarian Andrea Hirata yang harus keliling dunia untuk menemukan sang pujaan hati, A Ling.
Namun, aku telah berjanji bahwa akan kucari ia sampai dapat. Meski nyawa ini harus menjadi taruhannya.
Sedang pusing-pusingnya diri ini. Tiba-tiba seperti ada kelebatan suara yang membisik dalam telinga. Bursa NF teman. Kau harus mencarinya di sana.
A’haa..
Geliat dalam diri inipun merekah.
Seolah tak mau kehilangan waktu. Langsung saja kukayuh diri ini menuju Bursa NF.
Di dalam perjalanan, batin ini terus berdoa, “ya ALLAH, pertemukan aku dengan dirinya”.
Perjalanan Meminang Bidadari.
Aih, hebat betul judul itu.
Dan perjalanan pun akhirnya sampai ke tempat tujuan. Aku mendapatkannya. Buku itu. Tak sabar aku untuk membukanya, untuk kemudian melahapnya seperti orang yang sudah tiga hari tiga malam tak makan tak minum.
Pertama-tama, kuamati covernya. Kuamati ia baik-baik. Mataku lekat-lekat memperhatikan dari ujung ke ujung. Namun, betapa kagetnya aku saat membaca kata ‘KISAH NYATA PARA SYUHADA ABAD BARU’ di cover depan. Tulisan itu tersemat dengan jelasnya di bagian paling atas dari cover.
“Ah, tapi aku belum melihat isinya. Mungkin saja itu hanya tulisan untuk penghias”, batinku bergumam.
Kurobek sampul plastik yang melekat kuat pada cover buku itu. Secepat kilat kubolak balik halamannya. Langsung kuamati bagian daftar isinya. Disana tertulis nama-nama berikut:
- Dzokhar Dudayev, “Para ibu akan merasa merugi jika tidak mengeluarkan anak seperti Dzokhar Dudayev dari rahimnya”
- Ibnul Khattab, “Lelaki yang sangat merindukan surga”
- Syamil Basayev, “Menyusul kaki yang menunggu di taman surga”
- Hasan Al-Banna, “Guru Para Syuhada”
- Sayyid Quthb, “Lelaki yang bersyahadat dengan hidupnya”
- Syekh Abdullah Yusuf Azzam, “Lelaki yang menjadikan jihad sebagai urusan keluarga”
- Yahya Ayyash, “Pemuda permata hati para bidadari”
- Syekh Ahmad Yasin, “Pemilik kursi roda yang menggelorakan jiwa”
- Abdul Aziz Rantisi, “Aku memilih mati di depan Apache”
10. Khalid Islambouli, “Lelaki yang meminang bidadari”
Sejenak aku sempat tertegun. Jantung ini serasa tercekat. Serasa ada sesuatu yang aneh. Sempat kupertanyakan, mengapa isi buku ini tak sesuai dengan judul yang melekat pada sang cover? Tapi, aku berpikir ulang. Tidak teman, judul itu tetap sinkron dengan isinya. Bukankah ke sepuluh lelaki itu memang berhak untuk meminang bidadari-bidadari surga? Bukankah mereka semua sedang dalam perjalanan untuk meminang bidadari?
Oh ya, kali ini aku salah. Tadinya kukira, buku ini pastilah berhubungan dengan segala sesuatu tentang cinta. Tentang kiat-kiat seorang pria agar bisa meminang bidadari-bidadari surga. Tentang indahnya perjalanan menjemput sang bidadari.
Berarti, aku salah menduga kali ini.
Tapi, apakah aku kecewa?
Tidak teman, sama sekali tidak. Meskipun isinya berbeda sekali dengan harapan-harapanku. Namun, tetap saja aku terpelincut dengan apa yang disajikan sang pengarang di bukunya itu. Sudah kubilang kawan, aku menggemari tulisan-tulisan Ust. Herry Nurdi. Serasa seperti memakan Pizza ketika membacanya. Tambahan lagi, membaca biografi ke sepuluh pejuang di atas. Iri rasanya diri ini. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka-mereka itu!
Betapa tidak, mereka semua mati dalam keadaan syahid. Bukankah mati syahid itu adalah cara mati yang termulia di sisi ALLAH? Bukankah menjadi syahid adalah cita-cita tertinggi bagi seorang muslim? Maka ada syair yang mengatakan. ‘Jika mati maka matilah dengan syahid, tetapi jika hidup maka hiduplah dengan mulia’.
Di dalamnya diceritakan bahwa Hasan Al-Banna sudah hafal Al-Qur’an sejak usia 14 tahun. Ia sering menjadi jama’ah termuda shalat subuh di masjid pada saat itu. Bahkan, ia yang berkeliling dari pintu ke pintu membangunkan orang-orang untuk shalat subuh di masjid. Ia menjadi siswa terbaik di SMU nya pada saat itu. Ia gemar menulis sejak kecil. Dan satu hal yang tidak lazim dilakukannya ketika masih duduk di bangku sekolah mu’alimin. Ia mengenakan baju panjang jubah, bersurban putih dan hanya memakai sandal. Dengan bangga ia mengatakan, hendak mengikuti sunnah, ingin seperti nabi.
Sedang Sayyid Qutb telah hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun. Ia adalah seorang yang melampau zamannya. Dialah pengarang buku fenomenal Fi Zilal Al-Qur’an (Di bawah Lindungan Al-Qur’an) yang dikarangnya pada saat ia di penjara dan Ma’alim Fi At-Thariq (Petunjuk Jalan). Berkali-kali masuk penjara. Dan harus tewas di tiang gantungan karna ia berani menentang penguasa tiran pada saat itu, Gamal Abdul Nasser.
Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah pemuda yang bernama Yahya Ayyash, ia telah hafal Al-Qur’an sejak usia 6 tahun. Menakjubkan. Orang ini tak banyak bicara. Lebih banyak diam. Namun memiliki embrio kecerdasan tingkat tinggi. Kepalanya siap menerima frekuensi ilmu berapapun. Ialah lelaki yang dijuluki seribu wajah. Karna ia bisa menyamar menjadi apapun, bisa menyelinap batasan apapun lalu menitipkan sebuah bom dan dalam hitungan detik akan merenggut nyawa musuh-musuh Palestina. Ia ahli pula dalam hal merakit bom. Israel sering dibuat kalang kabut oleh ulahnya. Namun, ia mati di usia mudah akibat ulah keji Izrael.
Dan satu lagi yang tak kalah menakjubkannya. Kenal kan dengan Syekh Ahmad Yasin? Lelaki berkursi roda yang lumpuh total namun penuh kharismatik itu. Ialah pemimpin HAMAS. Melawan kepongahan Israel melalu kursi roda. Namun, ialah orang yang mampu membuat Israel tak nyenyak dalam tidurnya. Ialah pengobar api jihad di Palestina. Pengobar gerakan Intifadhah yang masih bisa kita lihat hingga saat ini. Namun apa daya. Iapun harus mati dalam perjuangannya. Israel membutuhkan roket-roket ganas untuk membunuhnya. Membunuh seorang kakek tua yang lumpuh total, namun penuh dengan kemuliaan hidup.
Nah teman, bagi anda yang ingin mencari semangat dari perjuangan heroik manusia-manusia mulia ini, maka disarankan untuk membaca buku ini. InsaALLAH bisa menambah semangat kita dalam berjuang di jalan ALLAH asalkan kita mau untuk meneladani apa-apa yang telah di lakukan oleh pendahulu-pendahulu kita.
Wallahu’alam bishowwab
[Nur Ali Muchtar / DSI MII / BTA LA]
Leave a Reply