KARPET MUSHOLLAH BTA
Posted September 22, 2009
on:“KARPET MUSHOLLAH BTA”
BTA, betapa cintanya aku padamu. Ada banyak sekali urusan yang membuat saya sangat senang dengan palace yang satu ini. Dan tulisan ini, kupersembahkan untuk BTA tercinta. Sekelumit saja, hanya sekelumit yang ingin kukisahkan dari keseluruhan kenanganku bersama BTA. Kali ini, saya akan mencoba menampilkan sesosok bayangan yang selalu hadir menemani hari-hariku. Kuberi judul dia ini: “KARPET MUSHOLLAH BTA”.
Kenapa harus karpet? Ga ada hal yang lainkah yang lebih menarik dari karpet? Apa kenanganku bersama karpet? Buruk, atau baikkah pengalaman itu? Dan terakhir, dibayar berapa aku oleh sang karpet untuk menuliskan tentang dirinya?
Dia ini eksplorasinya:
Kuawali dengan dia ini,
Karpet ini, karpet yang terhampar indah bak permadani istana Sulaiman, dihamparkan begitu saja di sekujur tubuh moshollah BTA. Warnanya kecoklatan gitu. Tidak teramat luas sebenarnya untuk segi ukurannya. Hanya sekitar 1,5 meter panjangnya. Sedang untuk lebarnya lumayan lebar, 6 meter. Tapi, yang membuat penampakannya terpampang luas adalah karna disana, di BTA itu, ada sekitar 4 karpet yang berjajar rapi layaknya pasukan militer tatkala berlatih.
Sedang, untuk bagian mushollah sendiri, ia memiliki jatah luas seharga 6,6 X 8 meter. Bagian depannya dibatasi oleh sekat berupa almari. Tubuh kiri dan kanannya dihalang-halangi oleh kukuhnya tembok Cina. Karna mushollah ini digunakan oleh dua gendre, maka bagian tengahnya harus dibatasi oleh 2 buah papan tulis kecil yang memiliki kaki. Jika malam datang, aku sering bermimpi 2 papan tulis itu berjalan-jalan ke sekujur sudut penampang BTA. Dan ketika aku terbangun karna ketakutan, kulihat ia masih berdiri tepat ditempatnya semula. Namun, sejurus kulihat ia menyunggingkan senyum padaku seolah berkata, “emang enak lo gue kerjain, hi hi hi hi”.
Karna karpet ini letaknya di mushollah, bisa dipastikan bahwa tugas utamanya adalah untuk menyenangkan para kawula mania yang hendak mendirikan shalat. Dan sampai dengan saat ini, khususnya bagiku sendiri, karpet ini telah menjalankan amanahnya dengan amat gemilangnya. Kenapa?
Dia ini:
Keseharian dengan karpet ini saya lalui dengan aktivitas-aktivitas berikut: untuk Shalat, untuk membaca Al-Qur’an, untuk belajar, untuk berteduh dengan pasrah membiarkan sekujur tubuh ditampar oleh kipas angin, untuk rapat, untuk bercanda ria dengan anak-anak TK Talenta Kids kalo pagi, untuk kerja-kerja tugas BTA seperti nyetreplesin brosur de el el, dan yang terakhir mohon jangan menghindar dari karpet ini jika seandainya saudara hendak berkunjung ke BTA ini. Dia itu saya gunakan untuk tidur. Tapi tenang kawan, di karpet itu tidak ada pulau Jawa-nya. Tidak ada pulau Kalimantan-nya. Yang ada adalah pulau negara Indonesia. Ups.
Saya amat betahnya jika sudah duduk di karpet ini. Terutama ketika saya baru mudik dari kampus. Hal pertama yang saya lakukan ketika sampai di BTA adalah memberi salam, berjabat tangan, cuci muka dan sikil kaki, dan yang terakhir adalah rebahan di karpet itu. Aku betah berlama-lama di karpet ini. Ketika kuhempaskan tubuhku ini pada pelukan dirinya, serasa ada sesuatu yang mencoba menghangatkan tubuhku ini. Ketika kepala ini serasa amat peningnya, ia serasa kobaran api neraka yang menyala-nyala, maka karpet itu serasa menjadi surga penyelamat yang meredam amuk mara dalam jiwa. Kurebahkan lama-lama tubuhku. Berselonjoran. Terkadang guling-gulingan jika aku mengingat akan keceriaan anak-anak TK. Itu kulakukan karna aku iri dengan keceriaan anak-anak itu. Kali aja, dengan bertingkah seperti anak-anak itu, aku bisa merebut sekerat kebahagiaan dalam jiwa mereka. Jika belum merasakan kebahagiaan juga, aku sering mengancam diriku ini dengan mengatakan, “awas ya, nanti aku akan guling-gulingan terus. Kalu perlu, aku akan mengeluarkan jurus monyet yang hendak kawin”. Semuanya itu kulakukan semata untuk mendapatkan kebahagian hidup yang sempat hilang kala raga mulai membengkak.
Dari kesemuanya itu, semua tentang kenanganku dengan karpet sutra musholah BTA, yang paling membekas dalam jiwa adalah tatkala aku sedang bertahajjud tengah malam seorang diri. Inilah satu hal yang tak akan pernah kulupakan. Dan mungkin, karna karpet inilah aku sering bangun tengah malam untuk menghadap Tuhan atau hendak berhambur keluar melalui jendela musholla yang langsung menghadap alam semesta untuk menyaksikan kesunyian malam menyelimuti bumi. Katika tahajjud, kurasakan aura damai yang membungkus tubuhku ini. Tengah malam yang sunyi itu kulalui hanya seorang diri. Sunyi mencekam menjadi temanku untuk bersua dengan sang Khalik. Aku telah mengkondisikan diri ini ketika aku mengail wudhu. Semata untuk bisa mendapatkan kekhusyuan yang diidam-idamkan oleh anak manusia. Karna pula aku teringat akan kisah Ali Bin Abi Thalib yang memang sudah mengkondisikan dirinya sejak menciduk wudhu untuk menambahkan kekhusyuan saat shalat nanti. Kulamakan saat-saat sujud. Karna kutahu bahwa saat-saat itu adalah saat-saat dimana doa sangat mustajab untuk dihijabah oleh Allah SWT. Terlebih ini adalah bulan Ramadhan yang penuh mulia.
Hening, hening sekali alam raya. Sebuah malam yang menawarkan kerinduan akan Sang Penguasa. Kurasakan sentuhan lembut karpet sutra saat aku tersungkur takut mengingat akan semua dosa. Aku terisak bersama rintihan jiwa yang menderu rindu. Kurasakan kesunyian memasuki palung-palung jiwa yang terdalam. Kutengadahkan diri, memohon pada Rabbi agar mengampuni segala dosa. Kuharapkan akan ridho-Nya untuk datang menjemput sang diri. Berderai-derai air mata merapi segala maksiat yang telah terjadi. Betapa naifnya diri ini. betapa kecilnya diri ini di hadapan Sang Raja. Kubawa fantasiku melintasi prahara. Aku melayang-layang dibuai oleh angin dan awan. Kusapa sang rembulan yang membulat sempurna. Kupeluk semua bintang yang mengerlingkan pertanda keriangan. Trus terbang menuju langit yang tinggi. Aku ingin menjemput Sang Tuhan di atas sana, di langit ke tujuh, di atas arasy, di atas tumpuan dunia yang tak bertepi itu. Aku rindu pada-Mu ya Allah. Aku rindu. Biarlah kutemui diri-Mu kelak. Di surga sana. Di alam keabadian itu. Ya Allah, ridhailah hamba-Mu yang naif ini, yang penuh dengan segala dosa dan maksiat, yang penuh dengan segala kebodohan karna hanya mau berurusan dengan dunia fana.
Aku terbangun dari sujudku. Dan kudengar, dari kejauhan sana, merangung-raung besamaan dengan kerikan suara jangkrik, adzhan bergema membangunkan jiwa-jiwa yang sempat tertidur. Kutinggalkan karpet sutraku untuk menemui Sang Rabb di tempat yang lain.
[Nur Ali Muchtar / DSI MII / BTA LA]
https://alymerenung.wordpress.com
“KARPET MUSHOLLAH BTA”
BTA, betapa cintanya aku padamu. Ada banyak sekali urusan yang membuat saya sangat senang dengan palace yang satu ini. Dan tulisan ini, kupersembahkan untuk BTA tercinta. Sekelumit saja, hanya sekelumit yang ingin kukisahkan dari keseluruhan kenanganku bersama BTA. Kali ini, saya akan mencoba menampilkan sesosok bayangan yang selalu hadir menemani hari-hariku. Kuberi judul dia ini: “KARPET MUSHOLLAH BTA”.
Kenapa harus karpet? Ga ada hal yang lainkah yang lebih menarik dari karpet? Apa kenanganku bersama karpet? Buruk, atau baikkah pengalaman itu? Dan terakhir, dibayar berapa aku oleh sang karpet untuk menuliskan tentang dirinya?
Dia ini eksplorasinya:
Kuawali dengan dia ini,
Karpet ini, karpet yang terhampar indah bak permadani istana Sulaiman, dihamparkan begitu saja di sekujur tubuh moshollah BTA. Warnanya kecoklatan gitu. Tidak teramat luas sebenarnya untuk segi ukurannya. Hanya sekitar 1,5 meter panjangnya. Sedang untuk lebarnya lumayan lebar, 6 meter. Tapi, yang membuat penampakannya terpampang luas adalah karna disana, di BTA itu, ada sekitar 4 karpet yang berjajar rapi layaknya pasukan militer tatkala berlatih.
Sedang, untuk bagian mushollah sendiri, ia memiliki jatah luas seharga 6,6 X 8 meter. Bagian depannya dibatasi oleh sekat berupa almari. Tubuh kiri dan kanannya dihalang-halangi oleh kukuhnya tembok Cina. Karna mushollah ini digunakan oleh dua gendre, maka bagian tengahnya harus dibatasi oleh 2 buah papan tulis kecil yang memiliki kaki. Jika malam datang, aku sering bermimpi 2 papan tulis itu berjalan-jalan ke sekujur sudut penampang BTA. Dan ketika aku terbangun karna ketakutan, kulihat ia masih berdiri tepat ditempatnya semula. Namun, sejurus kulihat ia menyunggingkan senyum padaku seolah berkata, “emang enak lo gue kerjain, hi hi hi hi”.
Karna karpet ini letaknya di mushollah, bisa dipastikan bahwa tugas utamanya adalah untuk menyenangkan para kawula mania yang hendak mendirikan shalat. Dan sampai dengan saat ini, khususnya bagiku sendiri, karpet ini telah menjalankan amanahnya dengan amat gemilangnya. Kenapa?
Dia ini:
Keseharian dengan karpet ini saya lalui dengan aktivitas-aktivitas berikut: untuk Shalat, untuk membaca Al-Qur’an, untuk belajar, untuk berteduh dengan pasrah membiarkan sekujur tubuh ditampar oleh kipas angin, untuk rapat, untuk bercanda ria dengan anak-anak TK Talenta Kids kalo pagi, untuk kerja-kerja tugas BTA seperti nyetreplesin brosur de el el, dan yang terakhir mohon jangan menghindar dari karpet ini jika seandainya saudara hendak berkunjung ke BTA ini. Dia itu saya gunakan untuk tidur. Tapi tenang kawan, di karpet itu tidak ada pulau Jawa-nya. Tidak ada pulau Kalimantan-nya. Yang ada adalah pulau negara Indonesia. Ups.
Saya amat betahnya jika sudah duduk di karpet ini. Terutama ketika saya baru mudik dari kampus. Hal pertama yang saya lakukan ketika sampai di BTA adalah memberi salam, berjabat tangan, cuci muka dan sikil kaki, dan yang terakhir adalah rebahan di karpet itu. Aku betah berlama-lama di karpet ini. Ketika kuhempaskan tubuhku ini pada pelukan dirinya, serasa ada sesuatu yang mencoba menghangatkan tubuhku ini. Ketika kepala ini serasa amat peningnya, ia serasa kobaran api neraka yang menyala-nyala, maka karpet itu serasa menjadi surga penyelamat yang meredam amuk mara dalam jiwa. Kurebahkan lama-lama tubuhku. Berselonjoran. Terkadang guling-gulingan jika aku mengingat akan keceriaan anak-anak TK. Itu kulakukan karna aku iri dengan keceriaan anak-anak itu. Kali aja, dengan bertingkah seperti anak-anak itu, aku bisa merebut sekerat kebahagiaan dalam jiwa mereka. Jika belum merasakan kebahagiaan juga, aku sering mengancam diriku ini dengan mengatakan, “awas ya, nanti aku akan guling-gulingan terus. Kalu perlu, aku akan mengeluarkan jurus monyet yang hendak kawin”. Semuanya itu kulakukan semata untuk mendapatkan kebahagian hidup yang sempat hilang kala raga mulai membengkak.
Dari kesemuanya itu, semua tentang kenanganku dengan karpet sutra musholah BTA, yang paling membekas dalam jiwa adalah tatkala aku sedang bertahajjud tengah malam seorang diri. Inilah satu hal yang tak akan pernah kulupakan. Dan mungkin, karna karpet inilah aku sering bangun tengah malam untuk menghadap Tuhan atau hendak berhambur keluar melalui jendela musholla yang langsung menghadap alam semesta untuk menyaksikan kesunyian malam menyelimuti bumi. Katika tahajjud, kurasakan aura damai yang membungkus tubuhku ini. Tengah malam yang sunyi itu kulalui hanya seorang diri. Sunyi mencekam menjadi temanku untuk bersua dengan sang Khalik. Aku telah mengkondisikan diri ini ketika aku mengail wudhu. Semata untuk bisa mendapatkan kekhusyuan yang diidam-idamkan oleh anak manusia. Karna pula aku teringat akan kisah Ali Bin Abi Thalib yang memang sudah mengkondisikan dirinya sejak menciduk wudhu untuk menambahkan kekhusyuan saat shalat nanti. Kulamakan saat-saat sujud. Karna kutahu bahwa saat-saat itu adalah saat-saat dimana doa sangat mustajab untuk dihijabah oleh Allah SWT. Terlebih ini adalah bulan Ramadhan yang penuh mulia.
Hening, hening sekali alam raya. Sebuah malam yang menawarkan kerinduan akan Sang Penguasa. Kurasakan sentuhan lembut karpet sutra saat aku tersungkur takut mengingat akan semua dosa. Aku terisak bersama rintihan jiwa yang menderu rindu. Kurasakan kesunyian memasuki palung-palung jiwa yang terdalam. Kutengadahkan diri, memohon pada Rabbi agar mengampuni segala dosa. Kuharapkan akan ridho-Nya untuk datang menjemput sang diri. Berderai-derai air mata merapi segala maksiat yang telah terjadi. Betapa naifnya diri ini. betapa kecilnya diri ini di hadapan Sang Raja. Kubawa fantasiku melintasi prahara. Aku melayang-layang dibuai oleh angin dan awan. Kusapa sang rembulan yang membulat sempurna. Kupeluk semua bintang yang mengerlingkan pertanda keriangan. Trus terbang menuju langit yang tinggi. Aku ingin menjemput Sang Tuhan di atas sana, di langit ke tujuh, di atas arasy, di atas tumpuan dunia yang tak bertepi itu. Aku rindu pada-Mu ya Allah. Aku rindu. Biarlah kutemui diri-Mu kelak. Di surga sana. Di alam keabadian itu. Ya Allah, ridhailah hamba-Mu yang naif ini, yang penuh dengan segala dosa dan maksiat, yang penuh dengan segala kebodohan karna hanya mau berurusan dengan dunia fana.
Aku terbangun dari sujudku. Dan kudengar, dari kejauhan sana, merangung-raung besamaan dengan kerikan suara jangkrik, adzhan bergema membangunkan jiwa-jiwa yang sempat tertidur. Kutinggalkan karpet sutraku untuk menemui Sang Rabb di tempat yang lain.
[Nur Ali Muchtar / DSI MII / BTA LA]
https://alymerenung.wordpress.com
Leave a Reply