Nur Ali Muchtar

PEDULI ATAU TIDAK PEDULI

Posted on: September 22, 2009

“PEDULI ATAU TIDAK PEDULI”

Kawan, sedikit ingin berbagi pengalaman. Begini, tanggal 15 September 2009 kemarin, bertepatan dengan hari Selasa, ada acara yang menurut saya lumayan seru. Kenapa seru? Ya seru. Seru dari temanya, seru pembicaranya, seru karena GERATIS-nya. Hah, dasar mahasiswa. Yang geratis aja, seneng. Pemilik acara ini adalah Fakultas Hukum. Pantes. Hukum gitu. Isinya rata-rata orang tajir. Bandingin dengan MIPA. Tajir juga dong. Hehe. Acara ini berlangsung selama 2 hari yaitu hari Selasa tanggal 15 itu dan keesokan harinya tanggal 16. Tapi, daku cuma ikut yang hari Selasa. Itu juga ga ampe abis.

Tema hari selasa itu adalah “Wajah Kebudayaan Indonesia“. Ada 4 pembicara. Namun, yang membuat daku mau merelakan diri duduk ngejogrok disana adalah karena ada sesosok orang yang satu itu, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Daku sering baca tulisan-tulisan beliau. Baik itu novel, cerpen, essay, ataupun puisi-puisisnya. Namun, daku belum pernah menatap wajahnya secara langsung. Nah, karena ada kesempatan tuk sekedar bersua. Tak maulah daku buang-buang kesempatan itu. Kukayuh diriku menuju tempat pegelaran itu di Balai Sidang BNI depok.

Acaranya dimulai pukul 13.30. Yang berbicar pertama adalah Kek Sapardi itu. Beliau berkhotbah selama sekitar 30 menit. Bakda itu, dilanjutkan oleh Bu Irmayanti dari FIB UI. Ternyata memang benar, tulisan yang bagus tidak menjamin bahwa kemampuan speaking sang empu juga bagus. Nyatanya, menurut saya, ceramah dari Kek Sapardi itu biasa-biasa saja. Ga sebagus tulisannya. Suaranya kecil. Mungkin karena faktor usia juga kali ya. Tapi secara keseluruhan, ide yang dikemukakan oleh Kek Sapardi itu mampu menyedot pikiran daku hingga daku sempat terlena.

Daku tidak akan membahas panjang lebar tentang apa saja yang beliau tulis. Tapi ada sedikit yang ingin daku sampaikan. Kawan, ternyata Kek Sapardi itu ga punya TV di rumahnya. Bukan karena beliau tak mampu untuk beli, tapi lebih karena ia menganggap bahwa TV itu tak ada gunanya. Hanya sampah. Rongsokan. Dan satu lagi bahwa ternyata, beliau tidak membaca koran. Ketika ditanya apa alasannya, spontan beliau menjawab bahwa saya tidak ingin dibuat stress oleh media massa itu. Karena katanya, “saya suka geget kalo liat gosip-gosip yang diobral bebas di koran-koran itu“. Nah lo, gimana ni nanggepin yang satu ini. Apakah koran itu penting atau tidak. Lebih lanjut, Kek Sapardi menjelaskan bahwa untuk mengganti informasi yang ga beliau dapet dari koran, beliau menggantinya via internet.

Sekarang, saya akan cerita mengenai pengalaman saya yang lain. Suatu ketika, saat pagi menyingsing. Bumi telah bangun dari tidurnya. Orang-orang pergi berbongong-bondong untuk mengais rezki. Saya bertemu dengan seorang kakek yang sempat menipu mata saya. Event itu terjadi saat saya hendak membeli ketoprak di dekat stasiun lenteng. Saat itu, sang kakek juga hendak beli ketoprak. Saat kuamati sekilas, aku tak berani mengatakan bahwa usianya telah sepuh meski hanya dalam hati. Kenapa? Karena, dari penampilannya kulihat bahwa orang ini belum terlalu tua. Taksiran awalanku adalah 60 tahunan (benarkah 60 tahun belum terlalu tua?). Namun, setelah sedikit ngerumpi, beliau bilang bahwa usianya sudah 90 tahunan. Nah lo. Awet mudah kah kakek kita yang satu ini? Nampaknya ya.

Mumpung ketemu dengan orang yang hidupnya awet tua. Eh awet muda. Langsung saja kuberondol sang kakek dengan pertanyaan seputar trik-trik agar bisa awet muda nan gagah perkasa. Tak lupa kusempili kata-kata seperti kakek. Tuh kan bener, sang kakek tertawa sumringah. Dan astaghfirullah giginya. Giginya masih utuh teman. Utuh 100 persen. Mengkilap cling mirip bintang iklan pepsodent itu. Putih bersih sewarna salju. Aih, ni kakek macem-macem ma gua. Berani bo‘ong ya. Ngaku-ngaku usianya dah 90 tahun. Tapi giginya masih kukuh berderet dengan sempurna.

Akhirnya dia mulai bercerita. Mengisahkah lika-liku hidupnya. Beliau bilang bahwa dalam hal makan, tak ada tuh pantangan-pantangan untuk menggabres sesuatu. Semuanya beliau makan, beliau lahap. Olahraga juga sewajarnya aja. Namun, ada satu hal yang patut untuk kita soroti hal ihwal kakek yang satu ini. “Saya ini baca koran tiap hari, tapi ga pernah barang sikitpun gosip-gosip yang bertebaran di koran itu saya bawa ke hati. Artinya, saya ga mau pikiran dan jiwa saya digerogoti oleh gosip murahan yang ada di koran itu“.

OOOO,,,,sontak saya bergumam. Itu toh rahasianya.

Daku masih terus mengamati gerak-gerik sang kakek. Saat ketoprak telah tersaji dan aku dan sang kakek siap menyantap. Ada hal yang menggelikan terjadi di sana. Tepatnya yang terjadi pada sang kakek. Tiba-tiba ia mencopot semua gigi yang berbaris rapih dari mulutnya. Aih, daku tertipu.

Ok, baik teman. Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kita perlu untuk membaca koran atau tidak? Apakah ini terkait dengan pribadi orangnya saja atau berlaku secara umum? Tapi sebelumnya, insya-Allah kita telah tau bahwa yang namanya TV jelas-jelas toh harus kita hindari. Sepakat tak? Karena gini kawan. Menerut AN Ubaedy menonton TV selama satu tahun manfaatnya sama dengan membaca buku selama satu jam. Disini rumusnya: 1 tahun TV = 1 jam Buku. Benarkah itu? Sedang, menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya “Psikologi Komunikasi“, buku adalah sumber yang paling OK untuk mencuri pengetahuan, sedang TV adalah sumber yang paling OK untuk memelihara kebodohan dalam diri kita. Sepakat atau setujukah sohib-sohib semua?

Jadi, untuk koran bagaimana? Menurut saya, untuk koran ini kembali ke masing-masing orang. Jika orang tersebut mudah tergoncang walau hanya  membaca secuplik gosip saja, lebih baik ia tak usah baca koran. Cari info dari sumber yang lain. Kaya Kek Sapardi tadi yang menggantinya dengan internet meskipun ini juga bukan jaminan bahwa kita bebas dari teror gosip tersebut. Namun disini, ada sedikit daya rem jika kita mencari info via internet. Karena jika menggunakan internet, biasanya kita hanya akan mencari sesuatu yang ingin kita searching saja. Sedang, bagi orang yang bertipe seperti kakek usia 90an tadi, menurut saya ya nda opo-opo. Wong dia ga terpengaruh kok dengan berita kaya apapun. Jangan-jangan, anaknya mati kelindes kontainer dia ga kepengaruh lagi. Ga ding. Hehe

Sebagai tambahan, untuk bisa menahan gempuran stress yang sumbernya bisa dateng dari segala penjuru langit. Ada baiknya kita perisaikan diri kita dengan nasihat yang ditelorkan oleh si Elang Botak alias Steven R covey. Katanya, dalam buku fenomenalnya yang berjudul The Seven Habbit of Highly Effective People, begini: “Pikirkan hanya pada apa yang berada di dalam jangkauan kita. Jangan pernah terpengaruh dengan sesuatu yang jauh dari jangkauan kita“. Nah kawan, terkait dengan membaca koran ini, ada baiknya memang kita tidak terpengaruh dengan banyak hal yang terjadi di koran-koran itu.

Bagaimana menurut sampeyan?

[Nur Ali Muchtar / DSI MII / BTA LA]

https://alymerenung.wordpress.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Total Kunjungan:

  • 661,491 hits

Follow me on Twitter

Yang Lagi OL

PageRank

Kenal Lebih Dekat di:

%d bloggers like this: