Dreams From My Father
Posted September 24, 2009
on:
Teman, judul di atas bukan mimpi dari ayah saya. Tapi itu adalah mimpi dari ayahnya presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Itu dia tuangkan dalam buku autobiografinya yang memang judulnya seperti yang tersaji di atas. “DREAMS FROM MY FATHER“. Saya membelinya di TM bookstore Detos beberapa waktu yang lalu. Dan saya telah menghatamkannya dalam waktu kurang lebih dua hari. Sampe terasa mual-mual perut saya. Pasal apa? Karena buku itu tidak seperti buku yang lainnya. Ia berpenampang besar dan berbadan tebal. Meski tak setebal bukunya Martin Dale yang judulnya “Farmacope“. Tapi kalo teman membacanya di kereta sambil berdiri, dapat dipastikan bahwa teman akan sangat kerepotan sekali. Mau tau berapa dia punya halaman? 493 halaman. Dahsyat kan!!
Sebelum saya memboyong buku itu pulang ke rumah untuk dibaca saat libur lebaran. Saya memamerkannya ke sohib-sohib di Mushollah tercinta kita, Mushollah Izzatul Islam. Lebih tepatnya bukan saya pamerkan, tapi memang karena saya membacanya disana, jadi banyak orang yang melihat saya membaca dan karena merasa penasaran, akhirnya mereka mengetahui juga harta karun yang sedang saya pegang. Saat saya sedang bersua berdua dengan buku itu, tiba-tiba ada seorang akh yang melirik. Sejurus ia melihat, lalu ia bergumam yang sempat saya dengar juga. Dreams From My Father by Barrack Obama. “ih, ga bangat de“. Nah lo, ada apa nih dengan akh kita yang satu ini? Sejenak saya berpikir, kenapa ya akh ini, kok bisa bilang like that? Saya berasumsi seperti ini: Jangan-jangan, karena yang nulis itu Barrack Obama lagi, sang Presiden Amerika Serikat yang sudah kita ketahui bersama tentang “kiprahnya“ di dunia internasional. Terutama sekali sesuatu yang berkaitan dengan umat Islam. Atau jangan-jangan, akh ini males karena melihat ukuran buku yang lumayan besar dan tebal?! Or jangan-jangan ia merasa lucu saya membaca buku yang aneh-aneh kaya gitu. Tapi teman, terlepas dari itu semua, saya mah cuek-cuek aja. Yang penting saya bisa melahap buku itu hingga habis tuntas tanpa saya sisakan sedikitpun ruang untuk harta itu bernafas. Dan alhamdulillah, sekarang saya telah menghabisi nyawanya. Sayapun membalut buku itu dengan doa semoga bagi yang menulis ataupun yang membaca, terutama saya, bisa mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Amin
Baiklah teman, sekarang saya ingin mencoba mengulas sedikit buku ini dari sudut pandang saya sebagai pembaca. Buku ini adalah sebuah memoar pribadi Barrack Obama terhadap pergulatan hidupnya. Saya tertarik dengan buku ini lantaran ada kata-kata seperti itu: pergulatan hidup, dreams, dan Barrack Obama. “wah-wah, seru juga nih kalo saya bisa tau sesuatu tentang Presiden negara Adidaya itu. Sapa tau saya bisa dapet inspirasi dan mengetahui rahasia dia orang bisa jadi besar“, itu bisikan-bisikan gaib yang berkeliweran di benak saya. Tiba-tiba saja air liur saya seperti menetes-netes. Maka saat itu, secepat kilat dan semudah membalik telapak tangan, saya beli aja itu buku.
Buku itu menceritakan pergulatan hidup obama yang dia ceritakan mulai dari asal-usulnya, masa kecilnya di Amerika dan di Indonesia, masa remajanya, dan masa-masa saat dia menjadi aktivis kemanusiaan di Chicago sana, dan saat-saat dia mudik ke kampong bokapnya di Kenya Afrika. Yang menarik adalah bahwa dia menuliskan satu bab khusus tentang sekelumit mozaik hidup yang dilakoninya saat ia tumbuh besar di Indonesia. Itu ada di bab dua. Ibunya, yang bernama Ann Dunham (kulit putih), saat ia telah talaq dengan suami (kulit hitam asal Kenya) yang melahirkan Barrack Obama, menikah dengan orang Indonesia yang dia temukan saat sang ibu berkuliah di Universitas Hawai. Nama lelaki itu adalah Lolo Soetono. Jadilah Lolo sebagai ayah tiri dari Barrack kecil. Obama menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. Kalo ga salah di bilangan kuningan saat ia masih SD.
Adapun, kesimpulan-kesimpulan yang bisa saya tarik dari kisah hidup sang Presiden ini adalah sebagai berikut:
1. Barrack Obama adl orang yang terlahir dari berbagai macam ras dan latar belakang. Hal itu terlihat dari ras ayahnya (kulit hitam) yang keturunan Afrika dan ras ibunya yang merupakan orang kaukasoid (kulit putih). Semenjak kecil ia telah melakukan berbagai macam pertualangan dengan tinggal di Hawai, Jakarta, Los Angeles, New York dan Chicago. Nah, kehidupan yang komplicated seperti itulah yang menurut saya turut mempengaruhi kepribadian orang no satu di USA ini. Lalu, karena ia terlahir menurun sama seperti sang ayah yang berkulit hitam, Barrack ini mulai melihat adanya fenomena rasial di tempat-tempat yang pernah dia singgahi di USA sana. Hal inilah yang menimbulkan kepedulian sangat yang tertanam kuat dalam benaknya. Kemudian, setelah dewasa, hal inilah yang menjadi salah satu penyemangat bagi hidupnya. Bahwa ia harus bisa tampil sebagai pembela sekaligus pendobrak budaya rasial itu di Amerika sana. Kesimpulannya: syukurilah bila anda terlahir menjadi seorang blaster dan menurut saya, sangat penting sekali bagi kita untuk pergi berpetualang ke segala penjuru dunia jika itu memungkinkan. Karena dari sana kita bisa mendapatkan banyak inspirasi dan semakin menghidupkan imajinasi kita. Saya berani mengatakan hal ini karena hal itu turut pula didukung oleh Om Anis Matta. Katanya, banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah akan memperluas wawasan serta menghidupkan imajinasi kita. Bukankah banyak pula yang menganjurkan pada kita untuk melakukan perjalanan-perjalanan ke tempat yang belum pernah kita kunjung. Tujuannya: agar kita ga sumpek dan agar hidup kita bisa lebih bergairah, dinamis dan lebih aktif. Dan teman, saya punya cerita yang berkaitan dengan: kaitan antara bepergian dan imajinasi ini. Sohib tau kan panglima besar Islam yang dijuluki sebagai “Pedangnya Allah Yang Selalu Terhunus“? Yup betul, dia itu bernama Khalid bin Walid. Konon, sang panglima, semenjak kecil sering melakukan petualangan ke berbagai penjuru negeri. Dan saat dia sampai ke suatu negeri, dia sering membayangkan tentang strategi perang yang akan dia terapkan jika suatu saat dia akan berperang disana. Dan terbukti, berkat imajinasinya itu, pedangnya selalu terhunus menebas sang musuh di mendan laga. Kemenanganpun selalu berpihak pada kaum muslimin. Alhamdulillah. Jadi, pentingkah berpetualang menurut sampeyan?
2. Barrack Obama adalah orang yang sangat peduli dengan kemanusiaan (ini saya simpulkan dari buku yang dia tulis sendiri lho). Hal itu tercermin dari kehidupannya yang memang dia habiskan untuk menjadi seorang aktivis bagi lingkungan tempatnya tinggal. Dia telah menjadi aktivis semenjak usianya 22 tahun. Awalnya dia bekerja di sebuah perusahaan, tapi dia merasa tidak menemukan dirinya disana. Kemudian dia banting setir. Dan jadilah ia aktivis.
3. Dari kisah-kisah yang terpapar di bukunya itu, saya berani menyimpulkan sedikit bahwa ia adalah orang yang tegar menghadapi kehidupan. Logikanya lebih bermain ketimbang perasaannya. Namun demikian, ia pernah keblinger juga sewaktu remaja. Minum, rokok, party, de el el pernah dia lakoni saat ia merasa kecewa dengan kehidupan. Yang perlu dicatat disini adalah bahwa ia sangat disiplin sekali menjaga emosinya. Ia bukan tipe orang yang menggebu-gebu di awal untuk kemudian menerjunkan dengan bebas emosinya itu hingga lemas terkapar tak berdaya yang besoknya tidak muncul-muncul lagi dalam kancah dunia. Maksudnya ga becicilan gitu. Konsisten.
4. Barrack Obama adalah orang yang peduli akan dirinya, masa lalunya, asal usulnya,. Intinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, dia akan cari tahu. Dia adalah orang yang benar-benar merekam kisah hidupnya. Masa lalunya dan masa sekarangnya. Ia adalah orang yang suka mengingat-ingat segala kejadian yang dia alami saat-saat lalu baik kejadian saat ia bersama keluarga, teman, ataupun lingkungannya. Iapun sepertinya tipe orang yang suka berpikir.
5. Barrack Obama adalah orang yang tidak terlalu agamis. Tapi ia punya hubungan yang kuat dengan berbagai gereja. Hal itu mungkin karena pengaruh dari lingkungan sosial yang dia lakoni. Ada pendeta yang sangat dekat dengan dirinya yaitu pendeta Jeremiah Wright dari gereja Trinity. Namun demikian, kakeknya yang keturunan Afrika dan bernama Onganya itu adalah orang Muslim Afrika.
6. Obama menjadi lebih sabar setelah menikah dengan Michelle, sang istri.
7. De el el (tambain sendiri ya kalo udah baca)
Lalu, pertanyaan saya adalah, apakah rugi kita membaca buku semacam buku ini? Jawablah sendiri.
Dan ini sebagai tambahan:
Saya pernah mendengarkan cuapan dari Om Anis lewat video. Dia bilang bahwa syarat penting bagi seorang pemimpin adalah bahwa ia harus bisa menulis. Sebenarnya saya masih bingung, apa hubungan antara menulis dengan leader? “Ah ustadz, seandainya bisa kutanyakan langsung padamu“. Tapi begini teman, baiknya kita lihat-lihat yuk pada fenomena-fenomena yang terjadi di realita zaman kita ini.
Begini, teman kenal kan dengan Ir. Soekarno? Ternyata dia itu seorang penulis lho. Dan dia telah menelorkan buku yang cukup fenomenal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi“. Lalu kenal dengan pemimpin-pemimpin yang juga seorang penulis berikut ini:
1. Kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang“ by R.A. Kartini
2. “Dreams From My Father“ by Barrack Obama
3. “Indonesia Unggul“ by S.B.Y
4. “Das Kapital“ by Karl Marx
5. “Kumpulan Risalah Ihwanul Muslimin“ by Imam Syahid Hasan Al-Banna
6. “Tafsir Fi Zhilalil Qur‘an“ by Sayyid Qutb
7. “ESQ“ by Ary Ginanjar Agustian
8. “Tasawuf Modern” by Buya Hamka
9. “8 Mata Air Kecemerlangan” by Anis Matta
10. “Islam dan Pluralisme Indonesia” by Gus Dur
11. “The Seven Habbits of Highly Effective People” by Steven R Covey
12. Masih banyak pemimpin-pemimpin yang juga seorang penulis semisal: Komarudin Hidayat, Anas Urbaningrum, Muhammad Natsir, Mahatma Gandhi, de el el.
Jadi, pentingkah menulis?
Bagaimana menurut sampeyan?
Dihabiskan sampai disini senang-sengannya
[Nur Ali Muchtar / DSI MII / BTA LA]
https://alymerenung.wordpress.com
“DREAMS FROM MY FATHER”
Teman, judul di atas bukan mimpi dari ayah saya. Tapi itu adalah mimpi dari ayahnya presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Itu dia tuangkan dalam buku autobiografinya yang memang judulnya seperti yang tersaji di atas. “DREAMS FROM MY FATHER“. Saya membelinya di TM bookstore Detos beberapa waktu yang lalu. Dan saya telah menghatamkannya dalam waktu kurang lebih dua hari. Sampe terasa mual-mual perut saya. Pasal apa? Karena buku itu tidak seperti buku yang lainnya. Ia berpenampang besar dan berbadan tebal. Meski tak setebal bukunya Martin Dale yang judulnya “Farmacope“. Tapi kalo teman membacanya di kereta sambil berdiri, dapat dipastikan bahwa teman akan sangat kerepotan sekali. Mau tau berapa dia punya halaman? 493 halaman. Dahsyat kan!!
Sebelum saya memboyong buku itu pulang ke rumah untuk dibaca saat libur lebaran. Saya memamerkannya ke sohib-sohib di Mushollah tercinta kita, Mushollah Izzatul Islam. Lebih tepatnya bukan saya pamerkan, tapi memang karena saya membacanya disana, jadi banyak orang yang melihat saya membaca dan karena merasa penasaran, akhirnya mereka mengetahui juga harta karun yang sedang saya pegang. Saat saya sedang bersua berdua dengan buku itu, tiba-tiba ada seorang akh yang melirik. Sejurus ia melihat, lalu ia bergumam yang sempat saya dengar juga. Dreams From My Father by Barrack Obama. “ih, ga bangat de“. Nah lo, ada apa nih dengan akh kita yang satu ini? Sejenak saya berpikir, kenapa ya akh ini, kok bisa bilang like that? Saya berasumsi seperti ini: Jangan-jangan, karena yang nulis itu Barrack Obama lagi, sang Presiden Amerika Serikat yang sudah kita ketahui bersama tentang “kiprahnya“ di dunia internasional. Terutama sekali sesuatu yang berkaitan dengan umat Islam. Atau jangan-jangan, akh ini males karena melihat ukuran buku yang lumayan besar dan tebal?! Or jangan-jangan ia merasa lucu saya membaca buku yang aneh-aneh kaya gitu. Tapi teman, terlepas dari itu semua, saya mah cuek-cuek aja. Yang penting saya bisa melahap buku itu hingga habis tuntas tanpa saya sisakan sedikitpun ruang untuk harta itu bernafas. Dan alhamdulillah, sekarang saya telah menghabisi nyawanya. Sayapun membalut buku itu dengan doa semoga bagi yang menulis ataupun yang membaca, terutama saya, bisa mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Amin
Baiklah teman, sekarang saya ingin mencoba mengulas sedikit buku ini dari sudut pandang saya sebagai pembaca. Buku ini adalah sebuah memoar pribadi Barrack Obama terhadap pergulatan hidupnya. Saya tertarik dengan buku ini lantaran ada kata-kata seperti itu: pergulatan hidup, dreams, dan Barrack Obama. “wah-wah, seru juga nih kalo saya bisa tau sesuatu tentang Presiden negara Adidaya itu. Sapa tau saya bisa dapet inspirasi dan mengetahui rahasia dia orang bisa jadi besar“, itu bisikan-bisikan gaib yang berkeliweran di benak saya. Tiba-tiba saja air liur saya seperti menetes-netes. Maka saat itu, secepat kilat dan semudah membalik telapak tangan, saya beli aja itu buku.
Buku itu menceritakan pergulatan hidup obama yang dia ceritakan mulai dari asal-usulnya, masa kecilnya di Amerika dan di Indonesia, masa remajanya, dan masa-masa saat dia menjadi aktivis kemanusiaan di Chicago sana, dan saat-saat dia mudik ke kampong bokapnya di Kenya Afrika. Yang menarik adalah bahwa dia menuliskan satu bab khusus tentang sekelumit mozaik hidup yang dilakoninya saat ia tumbuh besar di Indonesia. Itu ada di bab dua. Ibunya, yang bernama Ann Dunham (kulit putih), saat ia telah talaq dengan suami (kulit hitam asal Kenya) yang melahirkan Barrack Obama, menikah dengan orang Indonesia yang dia temukan saat sang ibu berkuliah di Universitas Hawai. Nama lelaki itu adalah Lolo Soetono. Jadilah Lolo sebagai ayah tiri dari Barrack kecil. Obama menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. Kalo ga salah di bilangan kuningan saat ia masih SD.
Adapun, kesimpulan-kesimpulan yang bisa saya tarik dari kisah hidup sang Presiden ini adalah sebagai berikut:
1. Barrack Obama adalah orang yang terlahir dari berbagai macam ras dan latar belakang. Hal itu terlihat dari ras ayahnya (kulit hitam) yang keturunan Afrika dan ras ibunya yang merupakan orang kaukasoid (kulit putih). Semenjak kecil ia telah melakukan berbagai macam pertualangan dengan tinggal di Hawai, Jakarta, Los Angeles, New York dan Chicago. Nah, kehidupan yang komplicated seperti itulah yang menurut saya turut mempengaruhi kepribadian orang no satu di USA ini. Lalu, karena ia terlahir menurun sama seperti sang ayah yang berkulit hitam, Barrack ini mulai melihat adanya fenomena rasial di tempat-tempat yang pernah dia singgahi di USA sana. Hal inilah yang menimbulkan kepedulian sangat yang tertanam kuat dalam benaknya. Kemudian, setelah dewasa, hal inilah yang menjadi salah satu penyemangat bagi hidupnya. Bahwa ia harus bisa tampil sebagai pembela sekaligus pendobrak budaya rasial itu di Amerika sana. Kesimpulannya: syukurilah bila anda terlahir menjadi seorang blaster dan menurut saya, sangat penting sekali bagi kita untuk pergi berpetualang ke segala penjuru dunia jika itu memungkinkan. Karena dari sana kita bisa mendapatkan banyak inspirasi dan semakin menghidupkan imajinasi kita. Saya berani mengatakan hal ini karena hal itu turut pula didukung oleh Om Anis Matta. Katanya, banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah akan memperluas wawasan serta menghidupkan imajinasi kita. Bukankah banyak pula yang menganjurkan pada kita untuk melakukan perjalanan-perjalanan ke tempat yang belum pernah kita kunjung. Tujuannya: agar kita ga sumpek dan agar hidup kita bisa lebih bergairah, dinamis dan lebih aktif. Dan teman, saya punya cerita yang berkaitan dengan: kaitan antara bepergian dan imajinasi ini. Sohib tau kan panglima besar Islam yang dijuluki sebagai “Pedangnya Allah Yang Selalu Terhunus“? Yup betul, dia itu bernama Khalid bin Walid. Konon, sang panglima, semenjak kecil sering melakukan petualangan ke berbagai penjuru negeri. Dan saat dia sampai ke suatu negeri, dia sering membayangkan tentang strategi perang yang akan dia terapkan jika suatu saat dia akan berperang disana. Dan terbukti, berkat imajinasinya itu, pedangnya selalu terhunus menebas sang musuh di mendan laga. Kemenanganpun selalu berpihak pada kaum muslimin. Alhamdulillah. Jadi, pentingkah berpetualang menurut sampeyan?
2. Barrack Obama adalah orang yang sangat peduli dengan kemanusiaan (ini saya simpulkan dari buku yang dia tulis sendiri lho). Hal itu tercermin dari kehidupannya yang memang dia habiskan untuk menjadi seorang aktivis bagi lingkungan tempatnya tinggal. Dia telah menjadi aktivis semenjak usianya 22 tahun. Awalnya dia bekerja di sebuah perusahaan, tapi dia merasa tidak menemukan dirinya disana. Kemudian dia banting setir. Dan jadilah ia aktivis.
3. Dari kisah-kisah yang terpapar di bukunya itu, saya berani menyimpulkan sedikit bahwa ia adalah orang yang tegar menghadapi kehidupan. Logikanya lebih bermain ketimbang perasaannya. Namun demikian, ia pernah keblinger juga sewaktu remaja. Minum, rokok, party, de el el pernah dia lakoni saat ia merasa kecewa dengan kehidupan. Yang perlu dicatat disini adalah bahwa ia sangat disiplin sekali menjaga emosinya. Ia bukan tipe orang yang menggebu-gebu di awal untuk kemudian menerjunkan dengan bebas emosinya itu hingga lemas terkapar tak berdaya yang besoknya tidak muncul-muncul lagi dalam kancah dunia. Maksudnya ga becicilan gitu. Konsisten.
4. Barrack Obama adalah orang yang peduli akan dirinya, masa lalunya, asal usulnya,. Intinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, dia akan cari tahu. Dia adalah orang yang benar-benar merekam kisah hidupnya. Masa lalunya dan masa sekarangnya. Ia adalah orang yang suka mengingat-ingat segala kejadian yang dia alami saat-saat lalu baik kejadian saat ia bersama keluarga, teman, ataupun lingkungannya. Iapun sepertinya tipe orang yang suka berpikir.
5. Barrack Obama adalah orang yang tidak terlalu agamis. Tapi ia punya hubungan yang kuat dengan berbagai gereja. Hal itu mungkin karena pengaruh dari lingkungan sosial yang dia lakoni. Ada pendeta yang sangat dekat dengan dirinya yaitu pendeta Jeremiah Wright dari gereja Trinity. Namun demikian, kakeknya yang keturunan Afrika dan bernama Onganya itu adalah orang Muslim Afrika.
6. Obama menjadi lebih sabar setelah menikah dengan Michelle, sang istri.
7. De el el (tambain sendiri ya kalo udah baca)
Lalu, pertanyaan saya adalah, apakah rugi kita membaca buku semacam buku ini? Jawablah sendiri.
Dan ini sebagai tambahan:
Saya pernah mendengarkan cuapan dari Om Anis lewat video. Dia bilang bahwa syarat penting bagi seorang pemimpin adalah bahwa ia harus bisa menulis. Sebenarnya saya masih bingung, apa hubungan antara menulis dengan leader? “Ah ustadz, seandainya bisa kutanyakan langsung padamu“. Tapi begini teman, baiknya kita lihat-lihat yuk pada fenomena-fenomena yang terjadi di realita zaman kita ini.
Begini, teman kenal kan dengan Ir. Soekarno? Ternyata dia itu seorang penulis lho. Dan dia telah menelorkan buku yang cukup fenomenal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi“. Lalu kenal dengan pemimpin-pemimpin yang juga seorang penulis berikut ini:
1. Kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang“ by R.A. Kartini
2. “Dreams From My Father“ by Barrack Obama
3. “Indonesia Unggul“ by S.B.Y
4. “Das Kapital“ by Karl Marx
5. “Kumpulan Risalah Ihwanul Muslimin“ by Imam Syahid Hasan Al-Banna
6. “Tafsir Fi Zhilalil Qur‘an“ by Sayyid Qutb
7. “ESQ“ by Ary Ginanjar Agustian
8. “Tasawuf Modern” by Buya Hamka
9. “8 Mata Air Kecemerlangan” by Anis Matta
10. “Islam dan Pluralisme Indonesia” by Gus Dur
11. “The Seven Habbits of Highly Effective People” by Steven R Covey
12. Dan masih banyak pemimpin-pemimpin yang juga seorang penulis semisal: Komarudin Hidayat, Anas Urbaningrum, Muhammad Natsir, Mahatma Gandhi, de el el.
Jadi, pentingkah menulis?
Bagaimana menurut sampeyan?
Dihabiskan sampai disini senang-sengannya
[Nur Ali Muchtar / DSI MII / BTA LA]
https://alymerenung.wordpress.com
Leave a Reply