Sebuah Cerpen
Posted October 1, 2009
on:- In: Cerpen
- 3 Comments
LAMUNAN DI PAGI HARI
Pagi datang menyapa bumi. Mentari mulai terlihat di upuk timur sana. Mulanya ia malu-malu untuk bangun. Tapi semakin ke sini, keberaniannya kian membesar. Dan terlihatlah ia sekarang dengan pesonanya yang membius siapa saja di pagi hari ini. Pagi ini begitu indah. Senyum mereka pada setiap makhluk yang kulihat di sekelilingku. Mungkin karena ia telah terbebas dari bekapan malam yang meneror dengan sangat ganasnya. Hujan turun dengan amat lebatnya semalam. Disertai raungan guntur yang menggelegar disana sini. Petir dan halilintar saling menyambar dan berkejaran di angkasa untuk kemudian jatuh di permukaan bumi. Malam tadi alam memang sedang murka. Mungkin Tuhan hendak menghukum siapa saja yang berani menentang akan segala titah-Nya. Tak sedikitpun ruang tersisa bagi setiap makhluk untuk bergerak melintasi prahara yang sedang mengamuk. Segala yang ada di bumi terkungkung dalam kerangkeng petaka malam ini.
Namun selalu seperti itu. Bahwa habis gelap terbitlah terang. Pagi ini terang benderang. Bumi dan langit dan segala isinya merekah untuk merenda hidup yang baru. Tak surut walau gempuran alam begitu dahsyatnya semalam. Aku berhambur melalui jendela di lantai dua untuk sejenak menikmati indahnya pagi hari ini. Kutatap sang mentari dengan sinarnya yang mengandung ultraviolet yang bisa menyehatkan tulangku dan mempertajam sorot mataku. Kukedipkan mataku secara perlahan membiarkan sejumprut sinar memasuki mataku melalui celah sempit kelopak mata. Kugerakkan seluruh badanku untuk mendapatkan basuhan lembut sinarnya sekaligus untuk meregangkan otot yang ikut membeku bersama matinya kehidupan semalam. Kurentangkan tangan sambil mengacungkan kepalan tangan ke udara seraya berkata, “Duhai dunia, aku siap melalui hari ini”. Kuambil bangku favorite yang biasa menemaniku hampir di setiap pagi hari. Secangkir teh telah terhidang. Sejurus aku duduk di bangku itu dan kuseruput teh itu dalam hitungan detik. Kubiarkan lama-lama teh itu menjalari seluruh rongga mulutku. Sambil memejamkan mata. Menikmati hangatnya teh serta belaian lembut angin yang bertiup sepoi-sepoi. Tiba-tiba, aku teringat akan sekelumit mozaik potongan hidupku yang telah terlewati. Begini certanya:
Aku teringat akan masa-masa SD-ku dulu. Betapa lucunya aku saat itu. Lucu dalam artian yang sebenarnya. Aku bukanlah anak yang spesial. Bukan pula anak yang pintar. Bahkan cenderung bisa dikatakan anak yang bodoh bin dungu. Selama enam tahun masa studiku di SD waktu itu. Hanya satu kali aku mendapatkan gelar kehormatan di atas podium. Yaitu saat aku kelas 3 caturwulan 3 dengan meggondol ranking 3. Aku tidak tahu ada apa dengan angka tiga ini. Mungkinkah angka 3 adalah angka keberuntunganku? Ah, mungkin ini hanyalah kebetulan semata. Sisanya, aku harus merengguk kenyataan pahit tersingkir dalam zona bergengsi kelas. Aku menjadi murid yang terpojokkan selama enam tahun itu. Terutama dalam hal akademis. Namun demikian, tidak melulu aku bisa diremehkan seperti itu. Ada dua hal yang membuatku bangga pada saat itu. Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan dan mata kuliah olahraga. Sehingga aku tak perlu minder dengan keseluruhan hidupku di sekolah.
Aku bisa bergaul dengan siapa saja pada saat itu. Tidak seperti teman-temanku yang lain yang hanya mau bergaul dengan orang-orang satu paguyubannya. Aku telah terbiasa untuk berbaur dengan siapapun itu. Aku tidak pernah mensekatkan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Bagiku semua kelompok sama saja. Justru yang membedakannya adalah keterbukaan kelompok itu untuk bisa menerima kelompok-kelompok yang lain. Itulah ciri-ciri orang atau paguyuban yang dewasa menurutku. Aku biasa berloncatan dari satu kelompok ini ke kelompok itu. Mirip seperti kutu loncat. Aku diterima mulai dari kalangan orang-orang cerdas akademisi, geng yang berisi anak-anak nakal dan bodoh, golongan kiri, golongan kanan, yang berhaluan agamis, para olahragawan, anak-anak guru, anak-anak musik, kaum nasionalis, status qou, konservative, dan lain-lainnya. Aku bisa berbaur dengan mereka semua. Bahkan aku sudah terbiasa bergaul dengan lintas agama dan lintas sekolah.
Disamping itu, aku unggul di bidang olahraga. Hampir di semua cabang olahraga aku unggul dibanding teman-temanku. Baik cabang olahraga yang mayoritasnya adalah lelaki maupun yang mayoritasnya adalah perempuan. Baik cabang olahraga yang masuk dalam kurikulum sekolah ataupun cabang yang hanya diperlombakan saat istirahat sekolah pukul sepuluh atau saat pulang sekolah. Aku unggul mulai dari: lari maraton, sepak bola, bola basket, kasti, voli, tenis meja, bulu tangkis, galaksin, benteng, petak kumpet, takcor hingga karet, bekel, ular tangga, monopoli, congklak, dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuatku cukup bangga meskipun otakku saat itu bisa dibilang dungu. Hanya dua ini saja sudah membuat namaku melambung tinggi di kelas bak roket yang siap meluncur membumbung tinggi di angkasa. Banyak sekali wanita yang melirikku saat itu. Kadang aku menjadi amat malu mengapa aku bisa demikian tenarnya di kelas. Padahal, sekali lagi padahal, otakku ini adalah otak udang.
Sejenak aku teringat akan kebodohan-kebodohan yang pernah terjadi pada diriku. Aku ingat dulu bahwa aku tak pernah mengetahui kalau pelajaran yang ada setiap hari sudah ada jadwalnya masing-masing. Alhasil, hampir setiap hari selama enam tahun itu aku membawa buku yang sama ke sekolah. Aku baru menggantinya jika buku catatanku telah habis terisi oleh catatan-catatan anehku. Dan aku juga memiliki kebodohan yang lain lagi. Aku tidak paham saat itu bahwa daftar presensi kelas yang ada diurutkan sesuai dengan urutan dalam abjad. Aku baru memahaminya saat aku duduk di bangku SLTP kemudian. Ah, betapa bodohnya aku saat itu.
Aku masih duduk di bangku dan masih memegang secangkir teh itu. Sejenak kulihat raja siang mulai memperbesar intensitas pancaran cahayanya. Kini ia telah menjelma menjadi bulat sempurna. Kubiarkan saja tubuhku diterkam dan ditusuk oleh sinarnya. Dan saat aku mulai untuk menyeruput tehku untuk yang kedua kalinya, aku teringat akan masa-masa indahku sewaktu aku berada di SLTP. Setelah lulus dari SD, aku langsung masuk ke sebuah sekolah berhaluan Islam. Aku tak tahu mengapa aku bisa terhempas kesana. Mungkin karena jaraknya yang cukup dekat dengan rumahku. Hanya berjarak sekitar 150 meter ke arah timur dari rumahku yang bisa dicapai dengan menerabas pesawahan di belakang rumahku. Nama sekolah itu adalah Mts (Madrasah Tsanawiyah) Negeri 15 Marunda. Sebuah sekolah biasa yang masih minim akan jumlah murid serta masih minim akan prestasi. Jelas saja aku bisa dikontrak sekolah itu meski NEM ku sangat kecil, alasannya kutahu kemudian karena sekolah itu memang sedang kekuarang murid. Hanya tiga kelas untuk satu angkatan. Jadi, siapapun yang mendaftar kesana, hampir bisa dipastikan ia akan diterima dengan lenca kehormatan 100 persen.
Prestasi akademisku, perlahan-lahan mulai menanjak di sekolah ini. Kalau ia bisa diibaratkan dengan sebuah grafik, maka ia adalah grafik fungsi kuadrat dengan nilai dari koefisien X kuadratnya adalah negatif. Namun demikian, ia tetap mencapai titik jenuhnya saat aku berada di kelas dua semester dua. Itu adalah saat kenaikan kelas menuju kelas tiga. Nilaiku terjun bebas di kelas dua itu. Tapi aku berhasil bangkit di kelas tiga. Nah, di kelas tiga inilah semuanya terasa begitu indah bagiku. Terasa begitu mengesankan. Bisa dibilang bahwa masa-masa terindah aku saat menuntut ilmu di lembaga formal adalah saat aku duduk di kelas 3 Mts itu.
Aku teringat kejadian jatuh tersungkur di kelas dua semester dua itu. Semua bermula saat aku mati kutu menghadapi derasnya gempuran ilmu yang diterorkan oleh guru-guruku. Dan saat-saat kenaikan kelas dan menerima raporku, aku mendapatkan kartu merah untuk banyak mata kuliahku. Termasuk di dalamnya matematika. Perlu kawan ketahui bahwa matematika ini adalah pelajaran yang paling aku benci, paling aku hindari, paling sulit kumengerti, paling males untuk kupelajari, paling sulit dipahami, paling-paling buruk nilainya diantara mata kuliah yang lain. Namun, semuanya berubah berkat kejadian itu. Kejadian saat aku terlempar dari zona podium terhormat kelas. Aku terhempas jauh. Dan saat itu seperti segalanya runtuh. Badai dahsyat itu demikian kuatnya mengoyak-ngoyak tubuhku. Aku menangis sesenggukan. Sampai dirumah aku uring-uringan. Orang tuaku sampai keheranan sendiri. Pasalnya, aku yang mulai bergeliat sejak kelas satu Mts harus menelan pil pahit nilai rapor.
Nah, disaat seperti itulah malaikat penolong itu datang. Malaikat itu adalah kakakku sendiri. Kakak kandungku sendiri. Seorang wanita dewasa baik dari segi pemikiran maupun segi usianya. Kebetulan ia baru lulus dari studinya di Yogyakarta. Ia ambil jurusan matematika di UIN Yogyakarta. Dan kebetulan saat itu ia telah menggondol gelas Sarjana Pendidikan untuk bidang matematika. Baru beberapa hari ia datang dan tingal di rumah bersama-sama keluargaku.
Desas desus tentang kebangkrutan akademisku itu sampai juga ke telinganya. Malamnya ia datang ke kamarku. Aku masih sesenggukan di kamar. Dia datang dengan gayanya yang keibu-ibuan. Dia usap bagian batok kepalaku. Ia tanyakan tentang kabarku. Tentang mengapa aku menangis. Lalu aku jelaskan padanya kalo semuanya ini ulah rapor yang berani datang dengan muka yang buruk kepadaku. Merah padam disekujur tubuhnya. Ia mendengarkan dengan penuh minat. Sesekali ia menganggukan kepala. Ia masih terus mendengarkan keluh kesahku. Hingga saatnya aku tak kuat lagi menanggung beban air mata yang selalu meminta untuk menetes. Hingga sejurus kemudian aku telah berada di dalam bekapannya dengan kucuran air mata yang menderas.
Lalu ia mulai berkhotbah menitakan untaian nasihat yang selanjutnya turut mengubah kehidupanku ke depannya. Ia mulai bercerita tentang perjuangan kuliahnya di Yogya sana. Ia bercerita tentang pentingnya kita prihatin. Ia bercerita tentang pentingnya usaha maksimal. Ia bercerita tentang pentingnya tawakal pada Allah. Dan satu yang paling aku ingat nasihatnya hingga hari ini. “Dik, kalo belajar bo ya dicicil to. Biar ga berat nanti saat ujian. Coba adik biasakan untuk belajar di subuh hari ba’da shalat tahajud. Ga usah lama-lama, cukup setengah atau satu jam saja”.
Esoknya aku mulai mengaplikasikan apa yang kudapat dari sang kakak. Aku mulai melirik matematika yang sebelumnya adalah ilmu yang paling menebarkan teror maut pada diriku. Mulanya aku menanyakan hanya satu dua soal kepada kakakku. Tapi intensitasnya begitu mencengangkan. Setiap hari aku secara rutin belajar matematika. Mulai memelucuti misterinya sedikit demi sedikit. Kian hari kian menggairahkan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku mulai terbius dalam lamunan panjang tanpa ujung pencarian misteri angka. Ada apa ini. Mengapa bisa seperti ini. Mengapa bisa jadi demikian lezat. Mengapa bisa jadi demikian nikmat. Mukjizatkah ini?
Aku mengawali kelas tiga itu dengan jiwa fress penuh dengan keoptimisan. Pasalnya satu: aku telah mendapatkan rasa percaya diri. Dan kini semangatku sedang berada di puncak umbun everest. Sontak dikelas aku menjadi buah bibir. Gunjang-ganjing di kelas, semuanya membicarakan aku. Katanya: senyumku demikian merekah bak bunga kembang sepatu yang sedang bersemi. Setiap ada pelajaran matematika, aku selalu duduk di bangku yang paling depan. Leherku menjulang tinggi seolah jerapah yang tak mau makanannya direbut oleh kompetitor. Aku selalu unjuk jari jika ada soal yang dikhususkan untuk dijawab oleh setiap siswa. Guruku sampai pangling kubuat. Kuliahat matanya nanar penuh dengan kesyahduan. Seolah berkata Einsteinku telah datang.
Ujungnya adalah saat sekolah hendak menyeleksi siswa-siswi super jenius untuk menjadi delegasi kehormatan dalam ajang kompetisi matematika se-Jabodetabek untuk tingka Mts negeri dan swasta. Rencananya, sekolahku akan menjaring 6 siswa-siswi jawara yang akan mewakili sekolahku. Singkat kata, aku menjadi satu dari 6 abdi sekolah yang beruntung. Keenam orang itu dipecah menjadi 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga orang. Kebetulan kelompokku adalah kelompok yang lebih di unggulkan.
Dimulailah pagelaran itu. Mulanya diseleksi untuk tingkat kotamadya. Yaitu seluruh Mts negeri dan swasta yang ada di Jakarta Utara karena aku dan sekolahku berada dalam lintang Utara Jakarta. Dan kami sempat kaget, kamilah juara satu untuk tingkat kotamadya itu. Di final kami mengalahkan sepupu tua sekolah kami, yaitu Mts 5 Cilincing. Sialnya, kru kami yang lain harus gagal di babak penyisihan. Maka jadilah kami sebagai satu-satunya tim yang mewakili Jakarta Utara dalam ajang bergengsi itu. Putaran finalnya akan dilangsungkan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta. Kami bertiga sangat senang. Pun dengan guru-guru dan pihak sekolah. Sontak sekolah kami dipenuhi oleh yel-yel kebanggaan. Maklumlah, sekolah kami bukanlah sekolah favorit yang biasa menggondol gelar jawara dalam ajang-ajang kompetisi bergengsi.
Semenjak saat itu, kami bertiga dispesialkan. Kami harus ikut penggemblengan secara intensive. Kami digenjot habis-habisan. Kehidupan kami diisolasi. Berlatih setiap hari mengerjakan soal-soal yang bagi kebanyakan anak seusia kami akan sangat kualahan jika disuruh untuk mengerjakannya. Tapi kami harus menang. Kami harus juara. Apapun yang terjadi. Rintangan seperti apapun yang akan menghadang di depan. Sekolah manapun yang akan kami hadapi. Kami harus menang. Kami harus mengalahkannya. Kami harus memboyong tropi juara itu. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus bagi seluruh civitas academica sekolah. Terutama untuk mendongkrak pamor sekolah yang tidak pernah bersinar semenjak berdirinya institusi ini. Semua pihak bahu membahu. Semuanya mendukung. Semuanya mulai bekerja. Hingga saatnya tiba event bersejarah itu. Maka, lembar pertualangan telah terbuka bagi kami.
Kami datang ke kampus UIN itu dengan semangat yang menyala-nyala. Pijar cahaya kulihat pula pada penampakan wajah ke dua sohibku itu. Seolah wajahnya adalah kunang-kunang yang berseliweran di malam yang kelam. Tapi kawan, ciut juga nyali kami melihat pemandangan yang ada disana. Tenyata banyak sekali peserta yang akan berlaga disana. Kami bergetar melihat kerumunan kontestan yang menggunakan jubah megahnya kesana. Menggunakan kaca mata serta bertampang penuh daya kejut intelektualitas. Kami meringkuk di ketiak pendamping kami saat mendengarkan beberapa kandidat jawara memekikkan suara-suara aneh seperti: integral, differensial, gradien, trigonometri, kurfa parabola, definite, SPL, pemrograman linier, aljabar, dimensi n, regresi, kofarian, alfa, beta, gama, chi square, binom newton, teorema cauchy, gauss, lemma, corollary, bilangan imajiner, hiperbola, elips, kontinyu, dan masih banyak yang lainnya. Jika sudah seperti itu, mud kami langsung encok. Tak nyenyak lagi kami belajar. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak belajar lagi disana.
Aku meminta izin pada pembimbingku untuk pergi ke kamar kecil. Tiba-tiba perutku terasa mual dan mulas. “Jangan lama-lama. Ajangnya segera dimulai”, pesan pendampingku. Sesampainya di kamar kecil, aku langsung membasuh muka dengan air. Dingin menyeruak di sekujur kepalaku. Kurasakan menggigil menjalar di seluruh permukaan tubuhku. Sakitkah aku. Haruskah aku melarikan diri dari ajang ini. Haruskah aku mundur saja. Pikiran-pikiran itu yang bertebaran di dalam benakku. Tapi segera kuingat perjuanganku selama ini, kuingat akan masa-masa bodohku saat di SD dulu, kuingat kakakku di rumah yang turut andil pula merubah hidupku, kuingat pula wajah orang tuaku, kuingat wajah guru dan teman-temanku di sekolah. Haruskah aku mundur padahal kesempatan itu sedang ngejogrog di depanku. Tidak teman, tidak boleh. Aku tidak boleh menyerah. Ini adalah pengalam pertamaku. Aku tidak boleh mundur. Aku harus kerahkan semua kekautanku. Aku harus tetap tenang. Aku harus tetap optimis. Kubasuh lagi kepalaku dengan air. Aku keluar dan segera kuhirup udara segar di pelataran kampus. Kutemui tim ku. Aku katakan kepada mereka semya bahwa aku telah siap. Dan kita pasti bisa menang. Sejurus kulihat tatapan semangat mulai berkobar di wajah kedua sahabatku itu.
Dimulailah ajang bergengsi itu. Masing-masing dari kami harus mengerjaka soal babak penyisihan berupa pilihan ganda. Dan nanti akan dipilih 12 regu dari 36 tim yang ada. Kami mengerjakan sebisanya kami. Dan saat pengumuman, betapa kagetnya kami melihat bahwa regu kami termasuk salah satu yang lolos ke babak final. Sontak kami berteriak memekik kegirangan. Berarti, hanya tinggal 11 tim yang harus kami singkirkan.
Rasa optimis kian membumbung tinggi dalam dada kami. Kami tak peduli lagi dengan segala apapun juga. Keyakinan kami hanya satu, tekad kami hanya satu, bahwa kami pasti bisa menang bagaimanapun caranya. Tapi kami menyadari bahwa tim yang lolos ke babak final ini adalah tim yang sangat tangguh. Kami melihat dengan mata kepala kami sendiri bahwa hampir seluruh tim yang tersisa berasal dari sekolah-sekolah favorite. Baik negeri maupun swasta. Hanya sekolah kami yang tak masuk dalam hitungan sekolah unggulan. Pendamping kami meyakinkan bahwa sekolah tak menjadi jaminan bahwa mereka bisa mengalahkan kami. Semangat kami kembali menemukan kurva yang tepat untuk menanjak.
Dan tepat sehabis shalat Dzhuhur, dimulailah babak penentuan untuk mencari 3 tim sebagai kandidate juara 1, 2, dan 3. Adapun soal yang diujikan kali ini berbentuk pertanyaan esai yang dibacakan oleh dewan juri yang harus dijawab saat itu juga. Dan terakhir adalah sesi persentasi ke depan forum untuk melihat jawaban dari soal penentu kemenangan yang akan diberikan pada tiap-tiap regu. Saat persentasi itulah kami merasa seperti sekelompok terdakwah yang sedang menjalani persidangan akibat ulah dosa-dosa kami. Kami seperti sedang diteror di depan orang-orang yang penuh dengan digdaya. Jantungku tercekat saat persentasi di depan sana. Aku, orang yang seumur-umur belum pernah mempresentasikan makalah di depan podium yang terhormat, kali ini harus merasakan pengalaman yang penuh dengan euforia ketegangan itu. Presentasi pun selesai. Dan kami melihat pada tatapan binar penuh pancaran kebahagiaan yang ditebarkan oleh wajah-wajah pendamping kami. Dari wajahnya itu sempat kulihat harapan bahwa kami bisa untuk menjadi kandidate juara, masih terbuka lebar.
Babak final selesai. Dan kami segera berhambur untuk beristirahat sambil menunggu hasil olah tim juri untuk menentukan 3 kelompok yang akan menjadi juara. Kami langsung diboyong ke kantin yang ada di kampus itu. Di kantin itu, tak henti-hentinya kami dipuji oleh pendamping sekaligus guru kami di sekolah. Padahal, pengumuman belum juga ditentukan. Namun para pendamping kami sangat optimis bahwa paling tidak kami bisa berada di posisi tiga. Alasannya karena presentasi kami tebilang salah satu yang bagus. Tak henti-hentinya kami berdoa di dalam hati. Belum apa-apa aku sudah menghayalkan yang macam-macam. Mulai dari nanti pasti akan di arak di altar suci gedung sekolah, diberikan hadiah yang mungkin tidak sedikit, diumumkan ke seluruh penjuru kampung, dan tentunya akan banyak sekali wanita-wanita cantik yang akan melirik aku. Aih, betapa indahnya jika kami bisa juara.
Seusai makan, kami langsung menyambangi tempat diumumkannya kejuaraan ini. Sesampainya di ruangan itu, kami langsung dikejutkan dengan tropi besar yang teronggok di depan sana. Ia ditempatkan di atas bangku yang telah dihias sedemikian rupa hingga menambah keindahan tropi itu. Air liur kami menetes-netes bak anjing yang sudah tiga hari tak bertemu tulang. Tropi itu demikian megahnya. Hingga kami berasumsi bahwa keudikan dan keterasingan sekolah kami akan musnah seketika jika kamilah yang menenteng tropi megah itu di depan sana.
Dewan juri masuk dengan kewibawaannya. Jantung kami berdegub. Sejenak kemudian kami tak bisa bernafas. Sebentar lagi keputusan besar itu akan diumumkan. Detik-detik itu begitu lama sekali kami rasakan. Seolah waktu memang benar-benar berhenti. Kami masih terus berdoa sambil memejamkan mata. Kami dan pendamping saling berpegangan tangan. “Ya Allah, berikanlah kami kemenangan. Berilah kami yang terbaik ya Allah”. Dan seketika itu juga dunia meledak menebarkan aurora diatas bintang kejora. Dunia serasa ringan. Tubuh kami lebih ringan lagi. Kami serasa melayang-layang di udara. Kulihat dunia dipenuhi dengan bunga yang berwarna warni saling berterbangan. Tempias cahaya redup-redup menambah keromantisan moment itu. Suara dewan juri terdengan begitu indahnya terdengar di telinga. Melolong-lolong membuat telinga kami bergerak ke bawah ke atas. Moment inilah yang kami tunggu. Saat inilah yang kami nantikan. Akhirnya, terjawab sudah perjuangan panjang kami. Kami berhasil duduk di bangku ke dua. Sebuah prestasi yang amat membanggakan bagi anak udik dan sekolah terbelakang kami. Tak dinyana betapa bahagianya hati kami. Kami bersungkur bersujud pada Allah SWT atas semua yang telah dianugerahkannya pada kami. Dan moment ini, peristiwa ini, kejadian ini, ajang ini, lomba ini, event ini, akan mengisi lembaran sejarah hidup kami yang tak akan pernah terlupakan selamanya. Thank to our god.
Sejenak lamunanku terbuayarkan. Kicau burung membangunkan khayalanku akan sepotong kisah hidup yang pernah kualami. Itulah moment yang paling mebanggakan dalam sejarah hidupku. Kulihat di atas sana. Gumpalan awan merekah saling berkejaran bak biri-biri berbulu putih yang sedang berebut makanan. Gelinjangnya terus berseliweran di atas kanvas langit kehidupan. Aku suka akan pagi hari. Aku cinta akan mentari pagi. Aku selalu tekesan akan awan-awan yang hidup di atas sana. Dan aku begitu takjub melihat langit luas yang menjulang tinggi tanpa tiang penyangga. Kuseruput sisa tehku yang mulai mendingin. Kuhabiskan dalam tenggakan yang terakhir itu. Dan aku bersyukur atas semua karunia yang telah Allah berikan pada hidupku ini.
SINOPSIS
Lamunan di pagi hari. Sebuah kisah dari seorang anak yang telah beranjak dewasa, yang disuatu pagi teringat kembali akan potongan mozaik kisah hidupnya yang telah lalu. Lamunannya berisi tentang lika-liku hidupnya sewaktu SD hingga ia mendapatkan gelar kehormatan sebagai juara kedua lomba matematika se-Jabodetabek untuk tingkat Mts (Madrasah Tsanawiyah) baik negeri maupun swasta. Dicerita ini dikisahkan bahwa sewaktu SD, sang anak bukanlah orang yang pintar dalam hal kemampuan akademis. Ia tak diperhitungkan dalam jajaran para jawara di kelas. Otaknya dungu bin bebel. Namun, ia memiliki beberapa kelebihan dibanding teman-temannya yang lain. Diantaranya adalah kelebihannya dalam bergaul dengan teman-temannya. Ia bisa bergaul dengan siapa saja dan bisa diterima oleh paguyuban manapu. Disamping itu, ia memiliki kelebihan yang lain yaitu keunggulannya dalam bidang olahraga. Ia menguasai hampir segala cabang olahraga yang biasa dipertandingkan di sekolahnya.
Lamunannya masih terus berlanjut hingga pada kehidupannya pasca SD. Ia masuk ke jenjang yang lebih tinggi di sebuah lembaga formal berhaluan Islam. Namanya Madrasah Tsanawiyah di kawasan marunda. Sekolah ini bukanlah sekolah ungulan. Ia masuk ke sekolah itu dengan NEM yang pas-pasan. Namun, kisah hidupnya berubah sejak di Mts ini. Grafik prestasi akademisnya mulai menanjak. Perlahan-lahan tapi pasti ia mulai bangkit dari kubang kebodohan. Hingga puncaknya ia harus terperosok di zona kelas akibat tak kuat mengikuti kuliah-kuliah berat yang disodorkan oleh sang guru. Ia jatuh tersungkur. Putus asa. Nah, disaat seperti itulah malaikat itu datang menolong. Malaikat itu tak lain adalah kakanya sendiri. seorang perempuan yang baru menyelesaikan studinya di UIN Yogyakarta. Major sang kakak adalah matematika.
Dari kakanya itulah ia mendapatkan sebuah nasihat yang untuk kemudian bisa mengubah hidupnya untuk bangkit dari keterpurukan akademisnya. Sedikit demi sedikit ia mulai belajar. Terutama ilmu matematika yang sebelumnya sangat dia benci. Namun, berkat dorongan dari sang kakak, ia menjadi keranjingan dengan ilmu yang satu itu. hingga kemudian, di sekolah ia mulai dilirik oleh guru-gurunya. Dan pada akhirnya, dia terpilih bersama lima orang yang linnya untuk mewakili sekolahnya dalam ajang matematika se-Jabodetabek untuk tingkat Mts baik negeri maupun swasta.
Singkat cerita, ia berhasil merengkuh podium kehormatan dengan menggondol peringkat kedua dalam ajang itu. Itu adalah gelar kehormatan untuk dia bersama sohib-sohibnya juga untuk guru-guru dan pihak sekolahnya.
3 Responses to "Sebuah Cerpen"

kak al… kren… bikin lagi donk yang kren… ditunggu..

October 9, 2009 at 1:17 am
Salam. Saya senang sekali membaca cerpen di atas. Suka menulis juga ya? Saya juga, tapi khusus fiksi. Salam kenal.