Saat Musim Hujan
Posted October 5, 2009
on:Sapa bahagia duhai sobatku semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Selalu dalam limpahan rahmat Allah SWT. Sobatku yang baik hati. Bulan ini adalah Oktober. Kita semua fahim bahwa jika Indonesia kedatangan tamu berupa bulan-bulan seperti Oktober, November, Desember, Januari dan Februari, maka itu berarti kita semua akan mendapatkan limpahan rezeki berupa air yang datang mengucur vertikal dari atas langit untuk kemudian menyapa kita semua yang ada di bumi ini. Musim kemarau telah kita lalui. Tak ada hujan selama berhari-hari, berminggu-mingu serta berbulan-bulan, sudah kita rasakan di bulan-bulan kemarin. Dan saatnyalah kita kedatangan tamu yang bagi saya pribadi sangat istimewa sekali. Yaitu musim hujan.
Pertanyaannya adalah, mengapa musim hujan itu begitu istimewa bagi saya pribadi? Bolehlah saya berbagi sedikit ceritera mengenai kenangan indah saya bersama air yang turun dari langit itu. Jujur teman, saya sangat menyukai rizki yang diturunkan Allah berupa air hujan ini. I like a rain. Dulu, sewaktu kecil, saat sedang imut-imut dan amit-amitnya, saya sangat bergembira ria menyambut kedatang hujan meski gelegak turunnya menumpahkan ribuan bah air hujan. Meski raungan geledek demikian membahananya. Meski kilatan petir sambar menyambar melintas melewati kepala kita. Meski orang tua melarang saya untuk kelurar untuk bermain dengan hujan. Saya tetap akan nekad, bahwa apapun yang terjadi, daya harus bermain dengan sahabat yang memberikan rasa kedamaian yang mendalam pada saya ini.
Saya masih terus akan hujan-hujanan meski omelan orang tua tak tertahankan lagi. Saya akan pergi ke sawah di belakang rumah. Membabat sebatang pohon pisang yang memanjang longitudinal. Kubawa ke sawah itu. Lalu bermain perahu-perahuan disana. Saya akan gupak-gupakan di kobakan yang ada di belakang rumah saya hingga timbul tenggelam bersamaan dengan gelegar geledek serta petir yang nyambar-menyambar. Atau jika tidak saya akan mengambil bola, pergi ke lapangan bersama teman-teman, bermain disana sejadi-jadinya, hingga seluruh tubuh ini seluruhnya dibalut oleh lumpur yang melekat kuat sekali. Saya baru akan balik ke rumah jika seluruh tubuh telah menggigil, badan sudah serasa seperti kapas, bibir telah biru-biru yang mirip seperti vampir setelah di make up, serta jika telapak tangan sudah tak berasa pabila memegang sesuatu. Barulah saya pulang ke rumah, membilasi tubuh dengan air bersih, diomeli sejadi-jadinnya oleh orang tua, dan setelah itu tertidur seperti orang yang telah mati selama-lamanya. Dan setelah bangun, ada perasaan damai yang berkelebatan dalam ruang dada ini. Mirip dengan apa yang kita rasakan jika musim semi tibah dan pohon-pohon mengembang dengan beraneka warnanya.
Kebiasaan menikmati hujan ini masih terus berlanjut hingga saya dewasa sekarang. Jika hujan datang, saya akan berhambur keluar melalui jendela mushollah BTA LA di lantai dua. Saya kenakan sweater yang tebal serta celana training agar tubuh ini tidak menggigil dicekam energi dahsyat sang hujan. Di luar sana, di atas ketinggian sana, saat mata ini bisa melihat rumah-rumah, pohon-pohon, jalanan, serta manusia-manusia berada di bawa jangkauan sana, saya akan memjamkan mata, menarik udara memasuki hidung serta menahannya dalam dalam untuk sejurus kemudian mengeluarkannya secara perlahan-lahan mirip orang berlatih olah pernafasan. Ada sensasi kenikmatan tersendiri saat melakukan hal itu.
Dan jika hujan sesekali menyiprat permukaan wajah saya ulah tiupan angin, maka terkenanglah semua fragmen kisah masa lalu yang mengingatkan saya pada saat-saat saya sendiri di tengah malam ditemani sang hujan. Luruh hati ini menikmati belaian lembut kenangan masa-masa lalu. Seperti itu yang terjadi pada saya bahwa jika hujan tiba, maka saya akan segera menyendiri berpisah dengan kerumunan orang, pergi mencari tempat yang sepi, untuk kemudian berdiam diri disana hingga hujan usai. Hanya itu yang kulakukan. Menikmati saat-saat indah percikan air jatuh membasahi bumi. Menikmati saat gelegar geledek serta kilatan petir yang sambar menyambar. Menikmati pelukan dingin tubuhnya. Memandangi goyangan pohon yang ditiup angin sambil sesekali menunduk karena keberatan menahan tetesan air hujan. Bagi saya, semua itu terasa indah nan menawan. Lebih indah ketimbang harus pergi ke suatu mall saat hujan datang bersama teman-teman.
Lalu kawan, bukankah jika hujan datang, itu berarti kita harus siap kebanjiran? Bukankan itu berarti kita harus tersekap di ruang-ruang sempit di sepanjang jalan yang berarti tidak bisa melakukan apapun? Bukankah jika hujan datang akan banyak sekali orang-orang yang menderita karena rumahnya disatroni air bah hingga beberapa meter tingginya? Bukankah jika hujan besar datang, itu pertanda bahwa harus ada nyawa yang digadaikan disana? Ah kawan, bukan itu permasalahannya. Hujan itu adalah rahmat bagi semesta alam. Bukan hujan penyebabnya. Tapi kitalah, para manusia sendiri yang menyebabkan berbagai musibah-musibah itu. Bukankah Allah telah mengingatkan kita bahwa segala kerusakan yang ada di muka bumi ini adalah akibat ulah manusia itu sendiri. Bukankah dengan adanya hujan ini seharusnya menjadikan kita agar bisa lebih mencintai lingkungan kita. Agar kita lebih memperhatikan serta merawat segala yang ada di muka bumi ini.
Jadi, mengapa mesti hujan yang harus disalahkan? Tidakkah kita berpikir kawan?
Leave a Reply