Curhat Seputar Nurdin Halid, PSSI dan Timnas
Posted January 4, 2011
on:- In: Olahraga | Sepak Bola
- 13 Comments
Belakangan, saya jarang mengikuti berita seputar olahraga terutama sepak bola dan utamanya lagi sepak bola dalam negeri termasuk berita-berita seputar timnas. Disamping memang pagelaran Piala AFF 2010 usai sudah, nyatanya kabar-kabar di televisi masing juga sering diwartakan. Bukan itu banyak ada di tv one? Metro tv juga kan? Bukan pula karena kesenangan saya akan olahraga sepak bola berkurang. Bukan pula saya kecewa dikarenakan Indonesia tak juara. Juara untuk kali pertama sepanjang sejarah Piala AFF (dahulu bernama Piala Tiger). Juara untuk menghilangkan predikat finalis karena memang Garuda Indonesia sudah empat kali (termasuk yang 2010 ini) masuk final tanpa juara. Nyata-nyata memang predikat itu layak pula untuk disandang sekarang.
Saya kecewa akan satu hal. Dimana hal yang saya kecewakan ini bersangkut paut dengan kekuasaan di tubuh PSSI. Saya telah mengultimatum diri: kalo seandainya timnas bisa juara yang berarti mengganyang Malaysia dengan skor lebih telak ketimbang di Bukit Jalil lalu, saya akan senang. Dan itu yang paling saya harapkan. Kalo seandainya kalah, satu yang saya harapkan untuk bisa mengobati kekecewaan yang datang, Nurdin Halid harus turun. Cukup dengan menghayalkan Nurdin turun dari singgasana PSSI, senang tak alang kepalang menerbitkan sungging senyum di wajah saya. Hanya mengingat itu dan rasa kecewa Indonesia kalah atas Malaysia dipastikan hilang tak berbekas. Tak akan saya ingat Indonesia pernah dikalahkan Malaysia.
Saat justru Indonesia tertinggal lebih dahulu 1-0 sewaktu bermain di GBK untuk leg ke-2, sempat dengar kan dengan jalas kalo para suporter kembali meneriaki “Nurdin Tu-run!! Nurdin Tu-run!! Nurdin Tu’run!!? Karena suaranya bergema bertalu-talu hingga bisa saya rasakan di rumah meski jarak antara GBK dengan rumah saya puluhan kilometer jauhnya, pastilah yang berteriak-teriak banyak sekali. Dan itu saya yakin bukan karena mereka dibayar ataupun hanya sekedar ikut-ikutan meneriaki. Itu saya yakin suara yang keluar dari hati sanubari yang terdalam. Suara yang keluar bukan karena iming-iming duit serupiah dua rupiah (lagian siapa yang mau dan mampu bayar orang sebanyak itu?). Bukan pula atas dasar kuasa seorang tokoh atau segelintir golongan yang ingin naik untuk bisa menggantikan Nurdin Halid. Suara itu murni semurni-murninya -mengalahkan bensi yang paling murni sekalipun- datang atas dasar kekecewaan manahun buah tak adanya kemajuan sepak bola tanah air. Kan begitu? Sudara setuju?
Saat itu, meski Merah Putih tertinggal 1-0, saya mulai menghibur diri. Sekelebat wajah khas orang Makasar berambut pendek dan bergaya politikus muncul di wajah saya. Mulanya ia mulai malu dan kecewa karena alat yang digunakan olehnya untuk berkuasa dan lebih berkuasa lagi nyaris ambruk diterjang badai. Saat yang bersamaan ribuan bahkan puluhan ribu orang meneriaki agar ia segera turun. Muka kecewa yang sempat ia perlihatkan di awal gol pertama pada senjata nuklir miliknya itu buru-buru ia rubah. Mirip seperti bunglon. Kalo bunglon pada warnanya, sedang ia pada mimik wajahnya. Kan sama saja? Mukanya kini berubah cepat 180 derajat dengan ketenangan dan sesungging senyum. Ia tak boleh gentar dengan geletar guruh di angkasa GBK. Mulanya ia ciut juga dan ingin mengumpat pada ketiak bapak presiden SBY yang secara kebetulan hadir di sana. Tapi enggan juga untuk ia lakukan. Bukankah saingan politiknya? Suara terus bergema dan ia terus tersenyum. Semakin lebar dan semakin lebar saja. Seperti wajah suka cita meski alat kekuasaannya itu kalah.
Esok hari wajah penuh sumringah itu muncul di layar kaca televisi. Saluran televisi mana yang menyiarkan, sudara tentu sudah tahu dan paham. Tak mungkin ia berani datang jika yang memanggilnya bukan stasiun tv yang satu itu. Alasannya: tv itu milik tokoh bekingan sang penguasa PSSI berwajah politisi itu. Jadi bisa kita duga apa yang bakal terjadi kemudian: Ia akan gunakan sesi diskusi itu sebagai alat pembelaan bagi dirinya. Dan nyatanya memang benar pula hal ini terjadi. Tak pernah ada terlontar sepatah kata pun yang mengindikasikan bahwa ia berani bertanggung jawab atas kegagalan timnas Indonesia. Yang keluar, semua yang keluar dari mulut manisnya itu adalah pembelaan. Hanya pembelaan saja. Pembelaan untuk dirinya. Sungguh watak yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin di negeri Matahari (Jepang) sana.
Mulanya sang pembawa berita menanyakan “Kenapa Indonesia bisa gagal?”. Jawabnya dengan enteng “Kita tidak kalah. Kita menang”. Loh, kok bisa? Lantas sang penanya yang hanya tau tugasnya adalah menanya, hanya menanya tanpa perlu berdebat kembali bertanya “Gimana tanggapannya mengenai suara penonton yang menginginkan pak N.H. turun?”. Lagi-lagi, dengan jiwa dan bekal seorang politisi ia menjawab “Itu hanya suara orang-orang yang tidak senang dengan saya. Hanya suara segelintir orang. Tak perlu itu ditanggapi”. Menohok, menohok hingga ke sumsung tulang belakang saya. Tak habis pikir. Semudah itukah jalan pikirannya? Satu bekal menjadi politisi patut kita dapat di sini. Pertanyaan berlanjut “Bagaimana menanggapi dua periode kepemimpinan bapak (berarti delapan tahun) yang tanpa gelar juara itu?”. Jawabnya lagi “Kita telah berhasil. Ini adalah yang paling berhasil di sepanjang sejara Indonesia. Lihatlah itu animo masyarakat Indonesia. Bukankah hanya baru ini euforia yang demikian besarnya? Kamilah (PSSI) yang berjasa menciptakan semuanya itu”. Horeeeeeee, kau telah berhasil Nurdin. Selamat untukmu.
Rasa nyiut di kepala saya mulai tak tertahankan. Tak kuat menanggung beban kecewa demikian besar, segera saya matikan televisi. Saya hendak tidur. Tidak ingin memikirkan apa-apa barang beberapa hari terutamanya sepak bola. Tapi tetap saja bayangan itu muncul. Bayangan orang berwajah khas Makassar itu dengan senyum politisinya. “Zihhh!! Enyah kau dari pikiranku. Jangan ganggu aku. Makan itu kekuasaan. Tetaplah engkau berkuasa menjadi orang nomor satu di PSSI. Makan situ semua duit yang masuk. Berkuasalah engkau barang berapa periode lagi. Agar engkau semakin kaya. Aku tak mau peduli. Biar dilaknat Tuhan. Engkau dikeroyok masa pun aku tak peduli. Bahkan itu yang aku harapkan. Jika itu tak terjadi pun aku tak peduli. Aku benci. Enyah kau dari pikiranku. Jangan ganggu aku lagi”. Tetap saja bayangan itu tak bisa saya enyahkan. Tiap hari menggerayangi pikiran dan alam bawah sadar saya hingga membuat saya nyaris gila. Maka sejak saat itu saya putuskan untuk tidak mengikuti berita seputar sepak bola lagi. Entah untuk selanya atau hanya sementara hingga pikiran jernih atau hingga ajal menjemput Nurdin.
Maka saya mulai lagi menasihati diri “Sabar lah jika ingin melihat sepak bola Indonesia berjaya di angkasa layaknya garuda. Sabar-sabar. Tak lama lagi orang berwajah politisi itu habis masa jabatannya. Memang tak mungkin menurunkan dia di tengah jalan karena memang telah menjadi tekadnya untuk tidak turun meski jutaan orang sekalipun mendemonya. Sabar hingga masa jabatannya usai. Tapi bagaimana jika orang itu kembali naik? Ya sabar lagi. Toh sampai juga waktunya seseorang menemui ajal. Hingga ajalnya datang, barulah gelombang kebangkita itu bisa muncul. Doakan saja”.
sumber gambar: sini
13 Responses to "Curhat Seputar Nurdin Halid, PSSI dan Timnas"

semoga kedepannya bisa lebik baik lagi, Hidup PERSIB, lho hehe


N U R D I N DANCOKKKKK!!!!!!


Kalo menurut pasal FIFA, seharusnya si Nurdin ga boleh tuh njabat di organisasi sepakbola. Fuckin’ for Nurdin!!!


salam kenal mas,
terima kasih udah main ke blog saya. mantap bgt nih blognya, udh banyak bgt tulisannya. iya saya memang tinggal di depok, tapi skgr lagi kuliah di bandung. saya juga sedang menyusun skripsi tapi mungkin agak lama selesainya. mengenai tulisan saya di blog, sejujurnya itu pemikiran yang masih sangat mentah, saya masih belum mendapatkan ide bagaimana cara mamulainya. jadi kalo mas ali punya ide bisa kita diskusikan. dan saya siap membantu kapanpun


kerennn

January 4, 2011 at 2:31 pm
Hanya ada satu kata untuk perbaikan Sepakbola Indonesia :
Bukan Nurdin yang memimpin PSSI
January 18, 2011 at 9:31 am
semoga bisa diganti untuk periode 2011-2015 nanti.