Ibu Kost-an yang Jago Masak
Posted May 22, 2011
on:Seandainya saya tidak memutuskan untuk pindah kost-an tiga bulan yang lalu, mungkin saya tidak akan pernah kenal dengan ibu kost-an saya yang sekarang ini. Beruntung saya bisa kenal beliau. Beruntung saya pindah ke kost-an saya yang kedelapan ini selama kurang lebih lima tahun kuliah. Kenapa saya bisa sangat beruntung pindah ke kost-an ini? Jawabannya: ada banyak sekali perubahan-perubahan positif yang terjadi khususnya pada diri saya setelah saya pindah ke kost-an yang sekarang. Beberapa di ataranya:
- Jadi produktif nulis. Di kost-an sebelumnya, saya jarang menulis. Alasannya karena kondisi tempat yang sangat-sangat tertutup dan sangat dekat dengan ruang tamu. Saya suka merasa terganggu kalo lagi nulis, tiba-tiba terdengar suara berisik baik dari televisi, suara orang ketawa, dll. Jujur juga bahwa saya susah untuk menulis jika ruangannya sangat-sangat tertutup. Saya lebih senang dan lebih bisa untuk menulis dalam kondisi ruangan terbuka. Menghirup udara segar, melihat langit, mendengar rintik hujan, melihat burung beterbangan, melirik pelangi, dan menyatu dengan simfoni alam. Hal-hal inilah yang membuat lecutan gairah saya meletup-letup untuk menulis.
- Shalat jamaah saya lebih terjaga. Di kost-an sebelumnya, masjid atau mushollah sangat-sangat jauuhhh. Tapi di tempat yang sekarang, kost-an nya malah punya mushollah sendiri. Setiap waktu saya pasti shalat jamaah di sini bareng teman-teman kost-an dan bapak kost. Alhamdulillah.
- Kost-an yang sekarang termasuk kost-an yang murah dengan kondisi kost-an yang tetap nyaman dan bersih. Saya hanya perlu merogoh kocek Rp. 260.000,00 tiap bulannya. Padahal, kebanyakan kost-kost-an di sekitar UI sini bandrol harganya berkisar Rp. 350.000,00 ke atas. Mungkin karena letaknya agak sedikit jauh dari pintu masuk UI, jadi harganya lebih murah dari kost-kost-an yang lain. Agak jauh?? Gak masalah buat saya. Kan saya bawa motor.
Harga hemat ini membuat saya tidak terlalu kelabakan untuk mengeluarkan duit tiap bulannya. Allah memberikan solusi bagi saya yang kebetulan kemarin itu sedang skripsi, yang terpaksa jadi jarang ngajar yang berarti pula pemasukan saya berkurang, dengan memberikan kost-kost-an yang terbilang murah.
Balik ke judul, satu hal yang paling-paling membuat saya senang adalah masakan ibu kost. Ia pintar sekali masak. Hampir semua jenis masakan dari berbagai daerah di Indonesia dari sabang sampai merauke, bisa ia buat. Kita –temen-temen- di kost-an menyebut beliau ibu nusantara. Lantaran ia memiliki kemampuan mengolah dan meracik makanan ala selera nusantara. Ibu kost-an saya ini sebenarnya tidak punya basic koki. Ia sarjana biologi dari UPN Jakarta. Jadi hampir seluruhnya belajar masak secara otodidak. Saya duga, ia mewarisi bakat dari sukunya: padang. Tambahan ia keturunan Cina Islam. Jadi beliau bisa meracik makanan-makanan Cina.
Oh ya, saya lupa memberitau bahwa ibu kost-an yang sekarang ini memang sengaja masak untuk kita-kita orang yang ngekost di kost-annya. Setiap kali makan kita hanya perlu bayar Rp. 600.000,00. Tentu harga ini menurut saya tidak sebanding dengan menu-menu makanan yang biasa beliau sajikan. Terkadang malah kita sering dikasih buah-buahan, yakult, puding, roti dan lain sebagainya untuk pencuci mulut. Memang terlihat sekali bahwa beliau tidak mencari keuntungan dari menyediakan makanan ini. Kata-katanya yang selalu saya ingat: “Ibu bukan mencari keuntungan dari sini. Ibu cuma mau bantu kalian dan terlebih karena ibu senang masak. Cape memasak itu buat ibu nikmat rasanya”. Dan yang lebih hebat lagi menurut saya, beliau telah menyediakan makanan untuk anak-anak kost-annya sejak tahun 90-an. Dan ialah satu-satunya ibu kost-an yang pernah saya temukan di muka bumi yang mau menyediakan masakan untuk anak-anak kost-annya. Ckckckck. Semoga berkah bu.
Temen kost-an saya ada yang sampe berandai-andai: “Kalo punya istri yang jago masak kaya ibu kost-an kita, enak kali ya. Tiap hari menu makanannya beda. Enak-nak lagi masakannya. Bisa gemuk nih. Hehehe”. Serentak kita-kita yang lain menimpali: “Amin”.
Jujur saya lebih banyak diberi beliau ketimbang memberi untuk beliau. Makanya saya selalu nurut apabila ia mulai berkhutbah dan memberikan petuah-petuahnya. Ahhh, memberi itu memang bisa menaklukkan hati seseorang. Semoga pelajaran dari ibu ini bisa saya terapkan dalam keseharian saya: memberi secara ikhlas terus menerus sepanjang hayat. Betapa indahnya jika hidup untuk memberi.
May 22, 2011 at 7:38 am
mujur yah dapet ibu kos yang baek hari dan tidak sombong, rajin memasak pula 🙂 susah tuh nyari yang seperti itu, apalagi cari kos2an yang ada mushollanya? Hmm bisa jadi seribu satu hehehe
Lekaslah selesaikan skripsi tu, ato dilama2in karena betah di kos-an si ibu? Hehehhe
May 22, 2011 at 8:17 am
baca postingan saya yang ini mbak:
https://alymerenung.wordpress.com/2011/05/22/fokus-cari-duuitt/
kesimpulannya: skripsi saya sudah selesai. bebasssssss