Paradoks Masa Lalu
Posted June 24, 2011
on:Kini ia berdiri di sana, seorang diri. Pikarannya terbang jauh melayang melawan arus mengikuti titian sejarah yang pernah dilaluinya di masa-masa silam. Sejenak ia terpekur dan tak kuas menahan isak tangis yang mengharu biru dalam sekam dadanya. Sesak, sesak sekali rasanya. Tapi ia telah melewatinya. Masa-masa itu, mas-masa yang menurutnya kelam itu, telah menjadi potongan mozaik yang merangkai keseluruhan jiwa raganya saat ini. Maka ia tak mau menyesali segala apa yang pernah teralami. Beganti senyum merekah pada bibir merah delimanya. Kini pikirannya sibuk menyatu dengan apa yang ia alami saat ini dan mencoba menerka masa depan gemilang yang mungkin ia torehkan di masa-masa mendatang.
Ia mulai mengamati manusia-manusia cemerlang yang pernah ia temui dalam lika-liku hidupnya. Dan betapa kagetnya ia bahwa hanya dalam hitungan beberapa tahun saja, banyak di antara mereka yang telah takluk pada dunia. Asanya tak kuat lagi menyangga gelora pemuda yang dulu pernah ia lihat seolah jilatan api besar yang berkobar-kobar dan dapat menghanguskan apapun yang ada di muka bumi. Semangatnya melempem layaknya kue apem. Tak ada lagi kesungguhan dalam niatnya. Idealismenya rontok dipereteli “kecowa-kecowa” kehidupan. Wajahnya tak lagi mengguratkan keoptimisan hidup yang dulu ia lihat begitu sumringah terukir dalam gurat wajahnya. Inilah paradoks masa lalu.
Dalam batinya ia berkata, “Mengapakah semudah itu??”. Sejenak ia kembali merenung. “Ahay, tak ada bedanya kalo gitu. Bukan awalan yang kita lihat. Tapi keseluruhan hingga akhir yang dinilai”, begitu batinnya berbisik. Maka sejak saat itu, ia tak peduli dengan masa lalu. Kini ia hanya memfokuskan pada apa yang mungkin bisa ia perbaiki saat ini dan di masa-masa yang akan datang. Ia pasti bisa mengejar segala ketertinggalan dari manusia-manusia cemerelang yang pernah ditemuinya dalam hidupnya. Asalkan ia tetap istiqomah berjuang. Berjuang untuk perbaikan hidup.
Leave a Reply