Nur Ali Muchtar

Resume Buku “Saatnya Untuk Menikah” Karangan Mohammad Fauzil Adhim

Posted on: October 22, 2013

Jadi ceritanya dapet tugas dari “bos” untuk resume buku “Saatnya Untuk Menikah” karya Mohammad Fauzil Adhim beberapa waktu yang lalu. Alhamdulillah sih udah tamat, tinggal dipraktekin aja..hehe…

Yahh,,yang namanya baca mah pasti lebih gampang ketimbang praktekin. Tull gakk? Tp by the way, mohon do’a aja agar saya bisa langsung praktekin apa-apa yang baik dari buku “Saatnya Untuk Menikah” karya Mohammad Fauzil Adhim ini.

Terakhir,,selamat menikmati 😀 😀 😀

Resume Buku “Saatnya Untuk Menikah” Karangan Mohammad Fauzil Adhim

            Buku “Saatnya Untuk Menikah” ini lebih menekankan pembahasan tentang masalah-masalah pra-meminang serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan selama masa pra-nikah.

Apa yang Menghalangimu untuk Menikah?

Pendahuluan

            Mengingkari panggilan hati untuk menikah sama halnya dengan mengingkari fitrah kita. Ketika fitrah kita teringkari, tidak ada ketenangan yang bisa kita capai. Kalau panggilan itu semakin kuat, sedangkan pegangan kita tidak semakin kokoh, hal yang tidak pernah terduga sebelumnya bisa terjadi. Jika memang telah tiba saatnya untuk menikah, menikahlah.

Bab 1 Saatnya untuk Menikah

            “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan.” (hadits)

“Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah (jima/persetubuhan), kawinlah, karena sesungguhnya perkawinan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan.” (hadits)

Jika pada malam hari yang sepi rasa gelisah nan sendiri sudah mulai menyeruak melingkupi qalbu, inilah saatnya bagi Anda untuk menikah. Jika Anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian, itulah saatnya Anda perlu hidup berdua. Jika Anda sudah begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya Anda menguatkan hati untuk datang meminang.

Beberapa hal yang perlu diketahui sebelum memasuki pintu gerbang pernikahan:

A.    Bekal Ilmu

Bekal ilmu yang dimaksud di sini adalah bekal ilmu dalam berumah tangga.

B.     Kemampuan Memenuhi Tanggung Jawab

            Di antara tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh suami meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, serta tempat tinggal sesuai kesanggupannya. Bersamaan dengan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tak sanggup memberinya. Tanggung jawab lainnya adalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Umumnya, masalah yang berkenan dengan hal ini bersumber dari dua hal: istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; disisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu.

C.    Kesiapan Menerima Anak

D.    Kesiapan Psikis

            Kesiapan psikis untuk berumah tangga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan pendamping hidup, kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja.

E.     Kesiapan Ruhiyah

Kesiapan ruhiyah bermakna kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka mudah menerima nasihat, teguran, maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang. Jadi kesiapan ruhiyah ini lebih utama dari pada kesiapan ilmu. Dan orang yang memiliki kesiapan ruhiyah lebih utama untuk didahulukan menikah sekalipun belum memiliki cukup ilmu maupun bekal ma’isyah.

Sebab orang yang bagus kesiapan ruhiyahnya dapat mengarahkan dirinya untuk belajar apa yang ia belum memiliki ilmunya, berhati-hati dalam bertindak, serta mentaati orang-orang yang berakal, yakni orang yang mengambil keputusan dengan berpijak pada ilmu. Jadi sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhiyah, telah cukup bagi kita untuk memasuki jenjang pernikahan.

Bab 2 Bersiap-siaplah Sebelum Menikah

            Tidak diperlukan persiapan khusus sebelum seseorang menikah. Hal itu disebabkan karena memang tidak ada hadits yang secara khusus membicarakan tentang persiapan menuju pernikahan. Asalkan pada dirinya terhimpun iman yang kuat dan akhlak yang mulia.

A.    Mengenal Istri

“Cara untuk belajar menjadi istri yang terbaik, hanyalah melalui suami. Cara untuk menjadi suami terbaik, hanyalah melalui istri. Tidak bisa melalui pacaran. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana caranya menjadi pacar terbaik, bukan suami atau istri yang terbaik.” (Didik Purwodarsono)

“Lamanya hubungan pranikah serta tingkat intensitas hubungan pranikah, tidak memberi subangan positif setelah mereka bersepakat untuk menikah. Persepsi pranikah terhadap pasangan yang cenderung persisten akan melahirkan horizon harapan yang ingin dipenuhi.” (Askham dalam bukunya yang berjudul Identity and Stability in Marriage)

Buku yang dianjurkan penulis untuk dibaca: Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.

B.     Kesiapan untuk Memberi Nafkah

Kewajiban kita memberi nafkah tidak bersangkut paut sama sekali dengan adanya pekerjaan tetap atau tidak. Kewajiban memberi nafkah pada istri –dan jangan lupa pada diri sendiri- “hanya” memberi implikasi agar kita bersedia memeras keringat sehingga dari keringat kita yang menetes ada rezeki yang bisa kita berikan kepada diri kita dan orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Adapun bagaimana bentuknya, tidaklah penting sejauh masih halal.

Yang paling penting adalah bekerja, bukan apa pekerjaannya. Bekerja berarti memenuhi amanah Allah –dan soal rezeki akan menjadi tanggungan-Nya- sedangkan menyebut jenis pekerjaan belum tentu menggambarkan bahwa seseorang itu memang betul-betul serius bekerja. Kesiapan memberi nafkah tidak berhubungan dengan adanya pekerjaan tetap bagi calon suami. Seseorang yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan penghasilannya besar, belum tentu memiliki kesiapan untuk memberi nafkah.

Menunggu hingga memperoleh kemapanan ekonomi untuk menikah hanya akan melahirkan bencana demi bencana. Sebaliknya, meski tanpa kesiapan ekonomi, tetapi bila kita memang sungguh-sungguh memiliki kesiapan untuk memberi nafkah, itu sudah cukup sebagai bekal untuk menikah.

Kesiapan ekonomi adalah kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh seorang laki-laki sehingga dengan kemampuan ekonomi itu ia bisa memberi nafkah. Sedangkan kesiapan memberi nafkah lebih berkait dengan kesiapan untuk sungguh-sungguh bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya sehingga meskipun saat menikah tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, ia tetap dapat menafkahi keluarganya.

Beberapa hal yang dapat diperhatikan untuk melihat apakah sang calon suami memiliki kesiapan memberi nafkah atau tidak:

Pertama, apakah ia lebih suka makan dengan hasil keringatnya sendiri ataukah dia lebih suka –bahkan berharap-harap- menikmati pemberian.

Terlaknatlah orang yang membebankan semua kebutuhannya kepada orang lain.” (hadits)

Tidak seorangpun makan makanan yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh kerja tangannya (sendiri).” (HR Bukhari)

Kedua, apakah ia lebih mendahulukan ikhtiar daripada menyerah pada keadaan. Orang-orang yang memiliki kesiapan memberi nafkah adalah orang-orang yang lebih mendahulukan ikhitar ketimbang menyerah pada keadaan. Orang-orang yang tidak memiliki kesiapan untuk memberi nafkah dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri adalah orang-orang yang mudah menyerah pada keadaan sebelum berusaha untuk memaksimalkan ikhtiarnya.

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (an-Nuur: 32)

Ketiga, apakah ia telah memiliki ilmu tentang segala sesuatu yang akan menjadi tanggung-jawabnya: kewajiban-kewajiban dalam hal pemberian nafkah kepada dirinya sendiri, orangtua, istri, anak, serta orang lain, serta tentang halal dan haram berikut yang ada di antaranya (syubhat). Yang terakhir ini juga termasuk pemahaman tentang batas-batas antara harta suami dan harta istri. Harta istri adalah hak mutlak istri dan tidak ada hak baginya untuk mempergunakan harta tersebut kecuali atas kerelaan istri.

 

Bab 3 Yang Perlu Anda Ketahui tentang Jodoh

            Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk laki-laki yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (an-Nuur: 26)

A.    Yang Tampak dan Yang Tersembunyi

Apa yang tampak baik di mata kita, boleh jadi sangat buruk di hadapan Allah. Dan sebaliknya, apa yang tampak tidak baik di mata kita, boleh jadi sangat baik di hadapan Allah. Pandangan manusia terbatas, sedang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

B.     Laki-Laki yang Baik dengan Wanita Pezina

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (an-Nuur: 3)

C.    Terkadang, Itu Sebagai Ujian

Seseorang yang beriman adakalanya menerima ujian dari Allah dengan kesulitan-kesulitan dalam mendapatkan istri yang rela mendampinginya. Atau terkadang, Allah menguji orang-orang yang beriman dengan mendapatkan pasangan yang tidak sekufu atau tidak sebanding dari segi agama dan akhlaknya. Tapi apabila ia bersabar dalam menjalaninya, mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatnya kelak. Amin.

Bab 4 Sekali Lagi tentang Sumber Informasi

A.    Mengenalnya Secara Pribadi

Pastikan bahwa kita mengenal kredibilitas serta objektivitas orang yang kita mintai tolong untuk mencarikan informasi seputar ikhwan atau akhwat yang hendak kita nikahi.

B.     Tidak Memiliki “Kepentingan Khusus”

Alangkah baiknya jika di saat mencari informasi, kita memilih orang-orang yang tidak memiliki kepentingan khusus, kecuali jika ia termasuk orang-orang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan kepentingan khusus adalah adanya kehendak yang sangat kuat dari informan agar Anda menikah dengan orang yang diinformasikan.

C.    Dapat Dipercaya

D.    Agama Itu Ada Bekasnya

Ujilah keimanan dan akidah orang yang bermaksud meminang kita dengan berdiskusi dan saling adu argumentasi. Ini bisa digunakan untuk mengetahui tingkat kepahaman seseorang terhadap dakwah. Lihat juga tanda-tanda dari keberagamaannya. Berikut tanda-tanda yang ada di dalam Al-Qur’an yang bisa kita jadikan patokan:

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ‘riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (al-Maa’uun: 1-7)

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (al-Furqaan: 63)

Siapa saja yang meringankan kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat kelak; siapa saja yang memberikan kemudahan orang yang kesusahan di dunia, Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat; dan siapa saja yang menutupi aib seorang mukmin di dunia, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah itu senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu selalu menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Mukmin itu ialah orang yang dapat mengamankan manusia yang lain, dan muslim ialah yang dapat menyelamatkan orang-orang Islam lain dari gangguan lidahnya dan tangannya, al-Muhajir itu ialah yang meninggalkan kejahatan. Demi Zat yang jiwaku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidak sempurna iman seorang hamba yang tidak mengamankan tetangganya dari gangguan kejahatannya.” (HR Imam Ahmad, Abu Ya’la, dan al-Bazzar)

E.     Bila Perlu, Dapatkan Informasi Pembanding

 

Bab 5 Mengapa Kita Sibuk Meninggikan Kriteria

Masalah yang sering menimbulkan persoalan adalah kecenderungan untuk meninggikan kriteria. Kecenderungan untuk meninggikan kriteria bisa menyebabkan seseorang -baik ikhwan ataupun akhwat- kesulitan dalam menemukan jodohnya. Sikap terlalu meninggikan kriteria juga potensial menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik karena yang kita persiapkan adalah menerima kebaikan, bukan sama-sama menata rumah tangga untuk saling memperbaiki diri satu sama lain.

Berharap banyak untuk mendapatkan pendamping yang termasuk “manusia super” bisa menjadi awal kekecewaan yang berkepanjangan karena sesempurna apa pun ia, selagi masih bernama manusia, selalu tetap memiliki sejumlah kekurangan. Ketika kita menetapkan kriteria-kriteria untuk “kesempurnaan” orang yang menikah dengan kita, maka kekurangan-kekurangan itu akan mudah tampak di mata kita. Sekecil apapun kekurangannya, bisa menjadi “keburukan yang tidak termaafkan” karena tuntutan kita telah menjadikan kita sedemikian peka terhadap kekurangan.

Kesimpulannya, terlalu meninggikan kriteria hanya akan menyulitkan diri sendiri.

A.    Ihwal Kesulitan

Secara sederhana, mempersulit diri adalah setiap halangan yang timbul karena kita membatasi hal yang telah dilapangkan Allah, mempersempit hal yang telah diluaskan-Nya, dan memperberat hal yang diringankan-Nya sehingga kita tidak mampu mencapainya. Mempersulit diri berbeda dengan kesulitan dalam menemukan jodoh. Apabila yang terjadi adalah kesulitan dalam menemukan jodoh, dan yang demikian ini adalah ujian dari Allah, jika ia bersabar atas kesulitan itu, maka Allah akan mengangkat derajatnya ke maqam yang lebih tinggi.

Rasulullah SAW berpesan agar kita menjadikan agama sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan. Tidak ada perintah untuk menentukan kriteria-kriteria secara khusus. Yang ada hanyalah anjuran untuk memilih istri yang walud dan wadud (subur rahimnya dan penyayang) sehingga dari perkawinan itu akan melahirkan keturunan yang banyak dan sanggup menyayangi mereka dengan tulus.

B.     Peka terhadap Kekurangan

Biasanya, semakin banyak kriteria yang ditetapkan, akan cenderung semakin cepat bermasalah. Sebaliknya, semakin sederhana kriteria yang ditetapkan, rata-rata kehidupan mereka akan lebih indah.

Ketika seseorang telah menetapkan kriteria yang sangat tinggi, ia akan cenderung sangat peka terhadap hal-hal yang bergeser dari kriterianya. Begitu juga jika kita telah menetapkan berbagai kriteria yang ketat, apabila terdapat perbedaan yang sedikit saja antara kriteria kita dan kenyataan yang kita jumpai setelah menikah, bisa menyebabkan kita masygul dan kecewa. Hal yang dimikian ini bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tangga.

 

C.    Menjadi Pintu Ujian

Hal yang dikhawatirkan adalah jika sikap meninggikan kriteria pada sebagian saudara kita akan menjadi pintu ujian bagi mereka. Mereka mungkin mendapatkan pendamping yang sesuai dengan kriterianya, tetapi yang didapatkannya setelah menikah adalah ujian demi ujian yang membutuhkan kesabaran luar biasa.

Kecenderungan sebagian kita terlalu meninggikan kriteria termasuk bentuk dari sikap kita yang tidak qana’ah dan cenderung memandang rendah orang yang tidak sesuai kriteria. Akibatnya, hal tersebut menjadi sumber ujian yang berat bagi kita.
D.    Sekedar untuk Kita Renungkan

Hendaknya kita berkaca terlebih dahulu sebelum menetapkan kriteria tentang pendamping hidup yang kita harapkan. Agaknya tidak realistis kita menuntut agar mendapatkan pendamping hidup yang sempurna, sementara ilmu diniyyah kita masih kedodoran dan akhlak pun masih compang-camping.

Apakah kita tidak termasuk takabur jika kita menetapkan kriteria terlalu tinggi? Memiliki harapan boleh-boleh saja. Kita sah-sah saja berharap mendapatkan pendamping yang lebih kokoh agama, akhlak, dan ilmunya sehingga bisa membantu kita untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi di hadapan Allah. Akan tetapi, terdapat perbedaan di antara harapan dan penetapan kriteria.

Bab 6 Lihatlah Wanita yang Akan Kaunikahi!

      Karena Itu, Engkau Perlu Melihatnya

                  Mughirah bin Syu’bah, seorang sahabat Nabi pernah menikah sampai lebih dari tujuh puluh kali dan kesemuanya berakhir dengan perceraian. Tetapi, ketika hendak menikah lagi untuk yang ke tujuh puluh satu, Rasulullah saw. berpesan agar ia melihat dahulu wanita yang hendak ia nikahi itu. Singkat kata, ia merasa cocok hingga akhirnya menikah dan setelah itu ia tidak menikah lagi dengan wanita-wanita yang lain karena sudah merasa cocok.

Kedudukan nazhar (memandang) wanita yang akan dinikahi tidak sekedar boleh (mubah), tetapi bahkan dianjurkan (mandub); sangat dianjurkan. Beberapa hal yang perlu dipahami yaitu:

Pertama, anjuran untuk memandang calon istri tidak bertentangan dengan ketatnya peraturan Islam agar para wanita selalu menutup aurat dan laki-laki menundukkan pandangannya. Aturan nazhar ‘memandang’ calon istri dengan pandangan yang cermat dan penuh perhatian, merupakan takhshish atau pengkhususan yang diberikan oleh Rasulullah saw.

Kedua, karena hal itu merupakan takhshish, memandang dan memperlihatkan aurat yang diperbolehkan untuk dipandang pada waktu nazhar merupakan kebaikan. Maka wanita sebaiknya tidak melarang laki-laki yang akan menikahinya untuk memandangnya, kecuali jika memang diketahui bahwa itu hanya sebagai alasan, bukan karena bersungguh-sungguh untuk menikahinya.

Ketiga, karena memandang (nazhar) dengan pandangan yang bersungguh-sungguh merupakan perintah Nabi, memperlihatkan aurat untuk dipandang oleh pelamar tidak merupakan pengkhianatan terhadap suami jika ternyata pelamar pertama tidak jadi meneruskan proses sampai ke pernikahan.

Jika salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita, apabila ia mampu melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.” (HR ath-Thahawi, al-Hakim, dan Imam Ahmad)

Jika ada salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya untuk melihatnya jika maksudnya ingin benar-benar meminangnya, meskipun wanita itu tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (GR ath-Thahawi dan Imam Ahmad)

Berkaitan dengan nazhar ini, Khalifah Umar bin Khathab pernah menyingkap pakaian Ummi Kultsum untuk melihat betisnya sebelum menikahinya.

Ketika hendak meminang Tsaniyyah binti Dhahhak, Muhammad bin Maslamah mengintipnya dengan mata melotot dari loteng rumahnya. Perilakunya ini menjadikan Sahl bin Abu Khatsamah merasa perlu menegurnya, yang selanjutnya Muhammad bin Maslamah mengajukan hadits Nabi yang baru saja kita kutip sebagai hujjah.

Tindakan yang dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah ini menunjukkan bahwa seorang peminang dapat melihat “apa saja yang membuatnya tertarik untuk menikahinya,” tidak sekedar wajah dan telapak tangan.

1.      Apa Saja yang Boleh Dilihat

Dari Jabir bin Abdillah r.a., dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

Apabila salah seorang di antara kamu melamar wanita, jika bisa melihat sesuatu yang menarik untuk dinikahi, lakukanlah.’ Maka aku melamar seorang gadis. Aku bersembunyi untuk memperhatikannya sehingga aku melihat sesuatu padanya hal yang menarikku untuk menikahinya dan mengawininya.” (HR Imam Abu Dawud)

Berdasarkan hadits ini, Imam Dawud Azh-Zhahiri mengemukakan, “Ia boleh melihat seluruh tubuhnya.” Pakar hadits ini bahkan menegaskan bahwa seorang peminang boleh melihat wanita yang dipinang dalam keadaan bugil.

Boleh melihat bagian depan dan belakang wanita yang hendak dilamarnya.” (Ibnu Hazm)

Boleh melihat pada bagian-bagian yang dikehendaki, kecuali aurat.” (Al-Auza’i)

Pendapat lain yang merupakan pendapat jumhur ulama adalah yang mengatakan bahwa bagian yang boleh dilihat oleh pelamar adalah wajah dan telapak tangan.  “Pendapat yang mengatakan boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, sama sekali tidak benar.” (Fadhilatusy-Syaikh Muhammad al-Hamid)

“Menurut konsepsi Islam, memandang yang diperbolehkan itu hanyalah sebatas muka dan kedua telapak tangan, sedangkan rambut dan anggota badan yang lain, tidak boleh dilihat. Wajah menampilkan kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan merupakan petunjuk kesuburan badan.” (Muhammad al-Hamid dalam bukunya Risalah Aktual).

Jika kita ingin mengetahui secara lebih detail lagi tentang keadaan fisik wanita yang akan kita nikahi, kita bisa meminta tolong kepada orang lain (perempuan) untuk melihatnya. Rasulullah saw. pernah mengutus Ummu Sulaim radhiyallahu’anha kepada seorang wanita (yang akan dilamar), seraya berkata, “Perhatikan (untukku) urat di atas tumitnya dan ciumlah bau lehernya.

Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah saw. bersabda, “Ciumkanlah (untukku) bau gigi (depannya) di sepanjang mulutnya.

2.      Sebaiknya Bukan Foto

Disarankan agar melihat foto hanya sebagai langkah awal, sedang nazhar tetap perlu dilakukan.

3.      Tidak Ada Alasan untuk Keberatan

Beberapa hal terkait dengan komentar sebagian ikhwan ataupun akhwat yang tetap kekeh agar tidak usah melakukan nazhar dengan dalih gimana nanti kalo tidak jadi menikah.

Pertama, alasan sebagian akhwat yang mengatakan lebih baik melihat setelah menikah bertentangan dengan maksud dari hadits-hadits tentang nazhar. Nazhar ini dilakukan dengan maksud agar lebih terdorong untuk segera menikah, lebih menjamin kelanggengan dan untuk menjamin kemantapan hati.

Kedua, alasan agar melihat sesudah resmi menjadi suami karena sudah tidak ada dosa lagi juga sama sekali tidak memiliki landasan yang bisa diterima. Allah dan Rasul-Nya sudah menjamin, tidak akan ada dosa bagi peminang yang berkehendak untuk melakukan nazhar.

Ketiga, tidak ada di antara kalian yang menganjurkan nazhar setelah menikah untuk menghidari risiko tidak jadi menikah, maka izinkan saya bertanya kepada Anda, “Apakah Anda belum pernah mendengar kisah Habibah binti Sahl dan Tsabit bin Qais dimana Habibah binti Sahl meminta cerai dari suaminya itu karena wajahnya yang teramat jelek dan ia baru mengetahuinya setelah menikah.”

Yang perlu diresapi dalam-dalam adalah bawah tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya menetapkan sesuatu jika tidak ada kebaikan di dalamnya.

4.      Cara Melakukan Nazhar

Tidak ada ketentuan khusus dari Rasulullah saw. tentang bagaimana cara melakukan nazhar. Akan tetapi, ada beberapa cara yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in.

Pertama, melihat langsung dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh. Ini yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika seorang wanita datang kepada beliau untuk menawarkan dirinya.

Kedua, melihat wanita yang akan dinikahi dengan disertai oleh kedua orang tua pihak wanita. Ini merupakan tata cara melihat ketika Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu bermaksud melakukan nazhar terhadap wanita Anshar yang akan dipinangnya.

Ketiga, melihat wanita secara diam-diam tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan, sebagaimana yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah dan Muhammad bin Maslamah radhiyallahu’anhu.

Keempat, melakukan nazhar sebagaimana Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu melakukannya terhadap Ummu Kultsum, cucu Nabi saw.. Ketika itu Umar bin Khathab melihat betis Ummu Kultsum dengan menyingkap pakaian yang menutupi betis calon istrinya.

5.      Etika Nazhar

Lakukanlah nazhar dan jagalah rahasia tentang hal yang kita dapatkan saat memandang calon istri.

6.      Wanita Juga Perlu Melihat

Wanita yang akan menikah juga perlu melihat orang yang akan menjadi suaminya agar tidak mengalami kekecewaan terpendam setelah menikah. Tetapi janganlah faktor wajah menjadi penghalang untuk menikah dan jadikanlah agama sebagai faktor yang utama saat hendak menikah.

Laki-laki hendaknya tidak mengelabui calon istrinya dengan menampakkan seakan-akan dirinya lebih muda dari usianya sehingga mengakibatkan kekecewaan setelah menikah.

Janganlah salah seorang di antara kamu (akan) melamar seorang wanita, sedangkan dia memakai semir (rambut) dengan warna hitam, maka hendaklah dia memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa dia memakai semir rambut.” (HR Dailami dalam Musnad Firdaus)

 

Bab 7 Sekali Lagi tentang Nazhar

Beberapa hal terkait dengan kecenderungan mengedepankan rasio (ra’yu) atau perasaan pribadi dari pada dalil-dalil naqli dalam menyikapi suatu masalah.

Pertama, sandaran untuk menolak, memilih pendapat yang paling sesuai, atau menyisihkan pendapat yang tidak sesuai adalah dalil-dalil naqli yang jelas, bukan persaan kita terhadap pendapat tersebut.

Kedua, marilah kita mencoba berpikir bahwa kehormatan wanita akan lebih terjaga jika kita mau menegakkan hukum nazhar.

Tidak ada pertentangan sedikitpun antara perintah untuk ghadhul bashar (menundukan pandangan) dengan perintah melakukan nazhar bagi orang yang akan melangsungkan pernikahan.

Sebuah pernikahan akan lebih mampu menundukkan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan apabila di dalamnya ditemukan cinta dan kebersamaan. Di sana ada keindahan yang dapat direngkuh bersama-sama, dan pintunya adalah wajah. “Maka, laki-laki yang hendak melamar wanita,” kata Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, “disyariatkan untuk melihat wajahnya. Sebab, jika dia sudah melihat kecantikan dan keindahannya, tentu lebih bisa membuahkan cinta dan kebersamaan di antara keduanya.”

Keindahan saat memandang pertama kali adalah gerbang. Selanjutnya penerimaan yang tulus, kehangatan saat menyambut kedatangan, serta kegembiraan saat bersama jauh lebih penting daripada kecantikan. Tetapi, pengabaian terhadap masalah keindahan, dapat menjadi pintu kekecewaan yang selalu menyalakan api pemberontakan untuk mencari yang dapat melunakkan jiwanya.

      Menolak Nazar untuk Menjaga Kesucian

Persoalan seputar nazar juga berkenaan dengan penolakan sebagian orang dengan alasan untuk lebih menjaga kesucian hati. Niat akan mudah terkotori dengan melakukan nazar. Kita memilih istri tidak lagi berdasarkan agamanya semata-mata, melainkan telah terkotori oleh kecenderungan untuk mempertimbangkan kecantikannya.

Perlu diperhatikan bahwa keinginan untuk menjaga kesucian diri hendaknya tidak mengharamkan yang halal dan menutup cahaya Sunnah. Kesucian justru akan lebih terjaga dengan tidak menahan sesuatu yang menjadi anjuran Rasulullah saw.. Kita mungkin berpikir bahwa menahan diri sendiri dan orang lain dari melakukan nazar akan lebih menjaga kesucian, tetapi boleh jadi kesucian hati kita akan lebih terjaga dengan melaksanakan anjuran Nabi ini. Salah satunya adalah menjaga kesucian hati setelah menikah, karena dengan melakukan nazhar kekecewaan lebih bisa dicegah dan keburukan lebih bisa dihindari.

Jangan hanya melihat secara fisik saat melakukan nazhar, tapi lihat juga aspek-aspek non-fisiknya. Itu sebabnya, kita sebaiknya melakukan nazhar langsung terhadap orang yang kita memang mempunyai maksud terhadapnya. Bukan melalui foto, sebab foto hanya bisa menampakkan kecantikan fisik tanpa bisa mengkomunikasikan sesuatu di balik penampakan fisik.

Bab 8 Di Ujung Penantian, Kapankah Jodoh ‘kan Segera Datang

Kadang Ia adalah Ujian

            Jika kita sudah bersungguh-sungguh menata diri, mempersiapkan hati, mencari ilmu untuk menikah, menyerahkan segalanya kepada Allah tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidup, berusaha dengan sepenuh hati untuk menjemput jodoh, didesak oleh kerinduan sembari di saat yang sama senantiasa menjaga diri, tetapi belum juga ketemu jodoh, maka terlambatnya jodoh ini merupakan ujian dari Allah SWT.  Dan obat menghadapi ujian adalah sabar. Sabar dalam menanti takdir. Sabar dalam berusaha. Sabar dalam berjuang. Sabar dalam berdo’a. Dan sabar dalam memegangi kebenaran.

      Barangkali, Kitalah Penyebabnya

            Kebahagiaan dalam pernikahan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, “Hai, Cowok …, Godain kita, dong.”

Bagaimana mungkin engkau bisa mendapatkan pendamping yang mencitaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu, sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?

Tidak jarang kesulitan yang dihadapi seseorang untuk menikah karena ia sendiri yang mempersulitnya. Ia menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Ia enggan melaksanakan pernikahan ketika Allah masih memberinya kesempatan karena alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang “wah” atau menundanya karena alasan karir atau studi.

Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahilah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Ada juga orang yang menolak untuk menyegerakan menikah karena menganggap takdir Allah tidak tepat. Ia menolak menikah karena takut “melangkahi” kakaknya, seakan jodoh tak mungkin datang bagi saudaranya apabila ia menerima pinangan. Padahal Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidaklah takdir Allah terhambat oleh perkara-perkara yang tidak memiliki kekuatan untuk menandingi kekuasaan Allah.

Sikap mengabaikan jodoh karena alasan yang tidak ada dasarnya sama sekali ini dapat menjatuhkan seseorang pada perbuatan menyulit-nyulitkan.  Ketika seseorang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya.

      Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari

            Kadang, seorang ikhwan sudah terlanjur jatuh cinta pada seorang akhwat terlebih dahulu ataupun sebaliknya. Hingga akhirnya mengabaikan setiap kali ada yang mau serius menikah dengannya. Hal ini bisa menjadi penghambat bagi seseorang untuk segera melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan hal ini, penulis menyarankan untuk membaca bukunya yang sedang ditulis dengan judul Masih Ada Tempat Untuk Cinta.

      Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri

Berdoalah pada Allah agar Ia memudahkan Anda untuk menikah.

Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.” (QS. Al-Anbiya’: 89)

      Atau… Sebaiknya Menawarkan Diri

Jika Anda mendapati lelaki yang memiliki banyak keutamaan kecuali dalam hal keberaniannya untuk menikah, boleh jadi yang Anda perlukan adalah sedikit keberanian untuk berlapang dada menawarkan diri. Ini bukanlah perkara yang tercela. Justru sebaliknya; sangat mulia.

Bab 9 Ketika Wanita Harus Menawarkan Diri

            Sesungguhnya, tidak ada halangan bagi seorang wanita untuk menawarkan diri. Para sahabat Nabi dan ulama yang saleh memandang sikap menawarkan diri sebagai sesuatu yang terpuji dan terasuk di antara kemuliaan seorang wanita.

Aku berada di sisi Anas (bin Malik) dan di sebelahnya ada anak perempuannya. Anas berkata, ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. menawarkan dirinya seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau berhasrat kepadaku?’ Maka anak perempuan Anas berkata, ‘Alangkah sedikit perasaan malunya. Idiih …, idiih …’ Anas berkata, ‘Dia lebih baik daripada engkau. Dia menginginkan Nabi saw. lalu menawarkan dirinya kepada beliau.” (HR Bukhari)

Berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat, “Orang yang ingin kawin dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya (termasuk di dalamnya terkait agama) itu tidak tercela.”

A.    Belajar dari Khadijah

Pernikahan agung antara Nabi Muhammad saw. (25 tahun) dengan Khadijah (40 tahun) terjadi atas inisiatif dari Khadijah. Langkah-langkah yang diambil Khadijah adalah mengutus Maisarah, pembantu laki-lakinya, untuk ikut berdagang bersama Rasulullah saw. yang pada saat itu mengurusi barang dagangan Khadijah. Setelah mendapati informasi yang rinci dan cukup tentang Nabi Muhammad, Khadijah kemudian mengutus Nafisah binti Munayyah (50 tahun)  untuk menjajaki kemungkinan dan sekaligus menawarkan apabila terlihat adanya peluang. Singkat kata, akhirnya Khadijah resmi menikah dengan Nabi Muhammad saw.

Dari kisah pernikahan Khadijah dengan Nabi Muhammad saw. ini, ada tiga hal penting yang kita perlu mencatatnya baik-baik sebelum menawarkan diri.

Pertama, carilah informasi sedetail-detailnya dan setepat-tepatnya sebelum memutuskan untuk menawarkan diri sehingga tidak terjadi ganjalan di tengah-tengah proses. Kedua, hendaknya Anda menawarkan diri melalui perantaraan orang lain, bukan diri sendiri. Ketiga, orang yang diminta untuk menjadi perantara adalah wanita yang sudah setengah baya. Wanita setengah baya cenderung lebih mengerti bagaimana mengkomunikasikan maksud Anda kepada laki-laki usia 20 tahunan. Keempat, proses menuju pernikahan tetap dilanjutkan dengan peminangan secara resmi oleh pihak laki-laki. Hal ini sangat penting untuk menegakkan kehormatan.

B.     Orangtua Menawarkan Putrinya

Orang tua umumnya lebih mampu menyampaikan dengan cara yang baik dan terhormat daripada Anda sendiri. Penyebabnya paling tidak ada dua hal yakni pengalaman yang lebih banyak sehingga lebih mengetahui cara mengemukakannya dan mampu mengambil jarak dari keterlibatan emosi (perasaan) sehingga dapat tersampaikan secara lebih jernih.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Total Kunjungan:

  • 661,492 hits

Follow me on Twitter

Yang Lagi OL

PageRank

Kenal Lebih Dekat di:

%d bloggers like this: