Posts Tagged ‘Jakarta Utara’
- In: Jakarta | Jakarta Utara
- 2 Comments
satu sisi lain wajah jakarta utara yang membuat saya lebih merasa kerasan tuk tinggal di sini adalah: kenyataan bahwa saya belum berkontribusi banyak bagi tanah kelahiran beta ini. kalau bukan karena mesin raksasa bernama kontainer itu, mungkin saya tak akan sudi untuk menceraikannya dan menikahi tempat lain di belahan bumi lain. buat saya, jakarta utara lebih dari sekedar tempat tinggal dan tempat lahir. ia adalah sebuah pengejawantahan hidup yang timbul dari kedalaman hati untuk berbuat sesuatu, entah dalam lingkup kecil pun besar, demi sebuh perbaikan bagi hidup dan kehidupannya. kenyataan bahwa pendidikan di sini adalah yang terendah kualitasnya dibanding empat saudara kembarnya yang lain (jakpus, jaktim, jaksel, dan jakbar) adalah sebuah fakta yang harus diubah. karena jakarta adalah pusat peradaban bagi bangsa indonesia, maka jakut harus ambil bagian dalam kancah digdaya kota metropolitan ini. ada begitu banyak potensi yang terdapat di dalam diri jakut. sebut misal: ancol, pelabuhan, gading, dll. maka ini haruslah menjadi potensi yang mampu menghidupi rakyatnya sekaligus meningkatkan tarah hidup penghuninya. semuanya pasti bisa. asal kita mau dan terus berusaha. insyaAllah.
Kangen Pengen Lari Ngelilingin UI
Posted October 8, 2011
on:Tidak seperti biasa, siang ini, Allah mengirim air dari langit ke rumah saya. Meski hanya rintik-rintik kecil, tapi cukuplah untuk membasuh wajah kering Jakarta Utara. Maklumlah, tinggal di kota pelabuhan ini memang identik dengan panas, debu, kontainer, bising, dan ketidak nyamanan yang lain. Makanya, rintik-rintik hujan yang turun siang ini benar-benar membuat hati saya merekah bak bunga keluar dari kelopak.
Ada satu memori yang mencuat di benak saya siang ini. Dan penyumbang terbesar dari geliat memori saya ini adalah rintik hujan tersebut. Sesaat menghirup udara lembab di pelataran rumah, tiba-tiba dada saya bergemuruh. Bayangan saya langsung melayang ke arah timur jauh, lantas berhenti di suatu tempat bernama UI. Tiba-tiba, pohon-pohon hijau nan rindang berbaur dengan gedung-gedung, jalur-jalur sepeda dan bikun (bis kuning), memenuhi benak saya. Bayangannya hadir bersamaan dengan gairah saya untuk meluncur deras mengikuti irama kaki yang hendak berlai.
Yah, berlari. Itu yang saya inginkan. Sudah lama rupanya saya tidak berlari. Susah sekali untuk berlari di tempat saya tinggal saat ini. Beda sekali sewaktu saya ngekos di depok dulu. Saya bisa lari kapanpun saya inginkan. Tinggal kenakan training panjang, kaos oblong, dan membungkus kaki dengan sepatu, saya bisa berlari mengelilingi UI yang sejuk itu. Beda sekali dengan di sini. Tak ada tempat yang enak untuk berlari. Tak ada taman kota sebagaimana UI bagi depok. Yang ada di sini adalah debu-debu yang beterbangan ulah mobil-mobil raksasa itu.
Ah rasanya. Ingin sekali bisa ke UI siang ini. Mungkin saya akan segera berlari. Tak peduli meski sekarang pukul 12 siang. Tak peduli meski banyak mahasiswa dan mahasiswi lalu lalang. Saya hanya ingin berlari dan mendapatkan kesegaran badan dan pikiran. Itu saja.
UI. Rupanya kau memang sulit untuk bisa dilupakan. Semoga bisa main-main ke sana secepatnya.
Bertempur Melawan Maut
Posted October 3, 2011
on:Saya rasa, gak lebay juga kalo saya bilang, berkendaraan di wilayah Jakarta Utara seperti bertempur melawan maut. Apa pasal? Apa lagi sebabnya kalo bukan karena kontainer-kontainer dan truk-truk yang bejubel-jubel memenuhi seantero jalan raya Jakarta Utara. Dan untuk titik-titik tertentu, saya kira kondisinya sudah sedemikian parahnya karena menyebabkan kemacetan hampir setiap hari. Maklumlah, jumlah kontainer dan truk-nya lebih banyak dari kendaraan pribadi. Sedang Anda tau seberapa besar dan seberapa berat satu mobil kontainer berikut peti kemasnya itu?
Makanya, ketika melintasi jalur yang oleh kompas disebut jalur tengkorak yaitu: cakung, kbn marunda, bidara, cilincing-priok, plumpang, dan yos sudarso, saya sering sport jantung. Kadang saya menjerit dalam hati: “Kenapa saya harus tinggal di wilayah seperti ini?”. Semasa kuliah di UI depok, saya membayangkan bahwa di sekitar UI lah masa depan (baca: rumah) saya. Asri, hijau, adem, nyaman, sejuk, gak ngebul dan berdebu. Tapi nyatanya, setelah lulus, saya harus kembali ke kampung halaman, tempat saya lahir dan di besarkan ini, di Jakarta Utara ini. Tempat yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan wilayah depok. Karena di sini, di Jakarta Utara ini, Anda akan menemukan semua kriteria ketidakidealan tempat huni: panas, ngebul dan berdebu, bising, dan setiap hari harus “bertempur” melawan kontainer-kontainer dan truk-truk yang melintas.
Kadang saya sering membesar-besarkan diri dengan pemikiran para pahlawan penuh heroik dengan mengatakan dalam hati dan benak saya: “Meski saya harus bertempur melawan maut setiap hari di buminya para kontainer dan truk, tapi di sinilah saya dilahirkan. Maka di sinilah saya harus mengabdi”. Dan banyak lagi alasan-alasan lain yang sengaja saya buat agar saya mau lebih mencintai tanah kelahiran beta ini (meski batin selalu menjerit tiap kali melafalkan kalimat-kalimat sakti mandraguna itu).
Kenyataannya, kini, setiap hari saya harus melewati jalur terngkorak itu. Ada bagusnya memang bahwa setiap saya bermotoran di jalur tengkorak tersebut, saya lebih banyak mengingat Allah. Bisa jadi, itulah saat-saat dimana saya paling membutuhkan pertolongan Allah. Bahkan saya sering berdoa: “Ya Allah, jangan cabut nyawa hamba dengan cara yang “konyol” seperti tertabrak kontainer/truk. Cabut nyawa hamba dengan cara yang jaaaauuuhhhh lebih baik. Amin”.
Komentar Terakhir: